Selasa, 11 Januari 2011

Bermakna Cinta

Baru saja Wito melajukan kuda besinya menuju tempat kerja, rasa rindu telah merasuki Rika. Maklum pengantin baru, inginnya berdua terus.

Padahal usia perkawinan mereka bisa dibilang tidak baru-baru amat. Empat bulan, Rika menjabat sebagai nyonya Parwito.

Namun entah mengapa, Rika selalu saja rindu pada Wito. Rasanya tak ingin berpisah satu detik pun.
Dia sadar itu tak mungkin bisa terjadi, Wito harus bekerja, mencari nafkah untuk kelangsungan hidup keluarga kecil mereka.

Apa yang terjadi padanya dapat dimaklum. Rika baru di kota ini. Selain itu, dia juga termasuk orang yang tidak gampang beradaptasi.
Empat bulan berada di kota hujan tempat suaminya bekerja itu, masih belum cukup bagi Rika untuk menyesuaikan diri.

Gadis asli Pontianak itu, belum terbiasa dengan hawa dingin yang dirasanya terlalu menusuki tubuhnya yang terbiasa dengan hawa panas ibu kota Kalimantan Barat itu.
Ditambah belum punya kenalan dekat. Sementara keluarga besar Wito ada di Bandung.

Rika mengenal Wito dari dunia maya. Tak menyangka akan berjodoh dengan pria asal pulau Jawa itu. Padahal perkenalan mereka baru beberapa bulan, namun saat itu Wito langsung meminangnya. Ya, namanya sudah jodoh, semuanya terasa mudah dilalui dan akhirnya mereka tinggal dalam rumah yang sama dalam ikatan suci.

Begitu sepi terasa jika Wito sedang tak ada di rumah. Padahal selama empat bulan ini, hanya untuk bekerja dan ke mesjid saja Wito keluar rumah. Istrinya yang ternyata manja ini memintanya untuk lebih sering menemaninya di rumah.

Rika bukan tidak ingin bergaul dengan lingkungan barunya. Namun begitu sulit baginya beradaptasi, mengenal orang-orang baru. Apalagi di komplek perumahan, biasanya berisi ibu-ibu yang senang bergosip, walaupun mungkin di komplek ini tidak, tapi tetap sulit baginya untuk memulai bergaul, takut tak nyambung, begitu alasannya.

Atau bisa saja dia mencari kesibukan sendiri dengan bekerja sebagai teller bank, seperti dulu di Pontianak. Namun, sebelum menikah Wito telah memintanya untuk di rumah saja, mengurus rumah tangga, biar Wito saja yang bekerja mencari nafkah.

Atau buka usaha sendiri? Ya, bisa saja. Namun sekali lagi, seorang Rika tak mudah beradaptasi. Selain itu ia belum berpengalaman dalam dunia bisnis.

Semua pekerjaan rumah sudah selesai. Menyapu, ngepel, nyuci baju, nyuci piring, semua beres. Diistirahatkannya sebentar badannya. Andaikan ada komputer, mungkin dia akan browsing internet atau mungkin hanya sekedar menumpahkan isi hati menjadi sebuah cerpen. Jika harus menulis manual, wah capek lah, kan tadi habis ngurusi pekerjaan rumah tangga.
Namun Wito tak punya komputer. Laptop tentu selalu dibawanya ke kantor. Ah, membosankan, batin Rika.

Dia melirik rak buku milik suaminya. Tak ada minat untuk membaca buku-buku mengenai desain. Jika ada pun mungkin dia tak akan mengerti. Sementara jika ia tanyakan maksud isi buku-buku itu, Wito mungkin tak ada waktu untuk menerangkannya kepada Rika.

Buku-buku koleksi Rika sendiri masih di Pontianak. Repot juga jika harus mengalihkan buku-bukunya yang satu lemari besar itu. Selain itu, ia baru ingat bahwa koleksi bukunya tersebut sudah dihibahkan kepada sang adik, ketika ia dibawa hijrah oleh Wito ke Bogor.
Pikirnya saat itu, mungkin dapat ia beli koleksi buku baru di Bogor atau Bandung. Namun buku-buku yang baru dibelinya di dua kota di Jawa yang baru ia singgahi itu juga sudah habis ia baca. Suaminya belum mengajaknya lagi jalan-jalan atau setidaknya membelikannya buku baru. Yang dibeli Wito selalu buku desain. Wito memang masih harus beradaptasi menjadi seorang suami yang kini ia kudu mengerti seorang wanita, wajib mengerti kebutuhan istri. Seharusnya selain membeli buku yang diperlukannya, ia juga membeli buku yang istrinya perlukan.

Kesal juga hati sang Rika. Namun ia berusaha memahami suaminya itu. Mungkin budget untuk buku cuma cukup untuk beli buku desain yang diperlukan mas Wito, pikirnya.

Akhirnya TV-lah pelarian terakhir Rika. Mungkin ada berita atau acara memasak. Siapa tahu dapat inspirasi baru.

Tak ada tayangan yang menarik baginya siang itu. Semuanya hampir sama, acara gosip.
Sebenarnya Rika bukanlah penikmat infotainment. Namun karena bosan, tayangan itu pun ditontonnya.
Kali ini yang diberitakan adalah artis X. Dia akan bercerai dengan suaminya. Penyebabnya adalah karena suaminya yang juga aktor itu ketahuan selingkuh.

Rika pun teringat suaminya. Entah setan apa yang membisikinya, tiba-tiba ia berpikiran buruk, “Jangan-jangan mas Wito juga selingkuh.”

Di kantornya kan banyak perempuan cantik, seksi pula. Dengan gratis, suaminya itu dapat melihat aurat mereka. Kalau sudah begitu lupalah pada istri di rumah.

Dia pun segera menghubungi handphone suaminya, untuk sekedar menenangkan hati. Namun beberapa kali dicoba, Wito tak mengangkat telponnya.
Ditelepon ke nomer kantor selalu hunting.

“Mas Wito pasti lagi asyik-asyikkan sama teman perempuan di kantornya. Ini kan jam istirahat, masak tak sempat mengangkat telepon? Padahal kan tidak akan lebih dari satu menit,” pikirnya.
Rika menangis. Usia pernikahannya baru empat bulan. Haruskah hancur gara-gara sebuah perselingkuhan?

Tersadar bahwa dirinya belum menunaikan shalat zhuhur, dengan mata sembab, Rika segera mengambil air wudhu. Ah, mungkin ini penyebab setan mudah sekali masuk, seharusnya tadi ketika adzan berkumandang ia segera memenuhi panggilan Allah itu. Ba`da shalat, hatinya lebih tenang.
Wito itu ngerti agama, takut sama Allah. Gak mungkin berani berkhianat pada janji suci yang ia ucapkan empat bulan lalu.
“Ah, mas Wito, maafkan Ika yang sudah su`uzhan,” ucapnya setelah berdo`a.

Tok…tok…tok…
“Assalamu`alaykum…”
Rika segera membereskan mukenanya. Lalu mengenakan jilbab, dan setengah berlari menuju pintu.
“Wa`alaykumussalam warahmatullah…,” jawabnya.
“Eh, Bu Usman, silakan masuk, Bu,”
“Maaf lho, Dek Rika siang-siang begini ganggu.”
“Oh, gak kok. Maaf, ada apa ya, Bu?”
“Ini, Dek, komplek kita ini mau merenovasi madrasah. Ya, mungkin Adek dan suami mau menyumbang.”

Rika terkesiap. Aduh, bukannya tidak ingin menyumbang karena tak ada uang. Namun uang itu bukan miliknya mutlak. Uang belanja yang diberi Wito untuk bulan ini, tak mungkin diberikannya begitu saja tanpa izin dari Wito.
“Sebentar ya, Bu,” kata Rika sambil pergi ke kamar.
Dicobanya untuk menghubungi Wito. Alhamdulillah, akhirnya diangkat.
“Assalamu`alaykum, Mas.”
“Wa`alaykumussalam, ada apa, Ika?”
“Ika kangen,” jawabnya. Lho? Rika seakan lupa, tujuan pertama menelpon Wito kan untuk meminta izin memberi sumbangan dengan uang belanja.
“Aduh, Ika, jika hanya begitu tolong jangan hubungi Mas. Mas sibuk lagi rapat ini,” kata Wito sambil berbisik.
Rika cemberut. Mas kesanyangannya ternyata gak kangen. Sebel.
“Udah ya. Assalamu`alaykum.”
Belum salamnya dijawab Wito sudah menutup telepon. Rika begitu kecewa. Padahal kan dia belum mengatakan tujuan utamanya menelepon.
“Ya sudah, tanpa izin aja, gak apa-apa lah,” katanya pada diri sendiri.
“Terima kasih lho, Dek. Eh ngomong-ngomong si Mas-nya lagi kerja toh?” tanya Bu Usman. Dalam hati Rika menimpali, ya iyalah masak ya iya dong.
Rika menjawab dengan anggukan. “Baru saja saya telepon, katanya lagi sibuk, rapat,” Rika bingung sendiri. Lho kok malah curhat?
“Waduh hati-hati lho, Dek, kalau suami sudah beralasan sibuk dan rapat, itu biasanya ada apa-apa.”
“Ada apa-apa bagaimana, Bu?”
“Ya ada apa-apa. Kayak yang terjadi sama Bu Shinta itu lho, cerai gara-gara suaminya selingkuh. Awalnya apa? Lah ya itu, suaminya selalu beralasan sibuk kerja hingga tak ada waktu buat bersama keluarga. Padahal ternyata, hmm…sibuk sama selingkuhannya.”
Rika termakan cerita bu Usman. “Maksud Ibu, suami saya tadi bohong?”
“Ah, tapi saya sih percaya kalau Nak Wito itu beda. Tapi kan siapa tahu ya?” Eh, ini ibu ujung-ujungnya malah memfitnah.
“Ya sudah, saya mau ke rumah yang lain dulu ya, Dek. Terima kasih sumbangannya. Assalamu`alaykum.”

Rika menjawab salam dengan pikiran kalut. Suami bu Shinta tak ada waktu untuk bersama keluarganya dengan alasan sibuk kerja? Apa yang tadi Wito bilang di telepon? “Mas sibuk, lagi rapat.”
Rika kembali menangis. Ingin rasanya menelepon mama di Pontianak. Tapi tidak, ini adalah masalah keluarganya. Tak perlu orang tuanya tahu dulu, apalagi dugaan ini masih belum terbukti.
Sore, masih dengan perasaan yang tak menentu, Rika malas-malasan memasak untuk makan malam. Bukan apa-apa, karena beberapa malam sebelumnya Wito selalu membatalkan janji makan malam di rumah dengan alasan yang sama, ketemu klien.

Tut Tut…
Handphone-nya berbunyi. Ada SMS. Ternyata dari Wito.
Ika, mas pulang terlambat. Mungkin gak akan makan malam di rumah lagi malam ini, karena setelah maghrib Mas harus nemui klien di luar.

Tuh bener kan?! Hatinya makin kalut. Mas Wito pasti udah janjian dinner sama perempuan lain. Sok bilang nemui klien segala. Ya mungkin emang klien, tapi perempuan genit. Laki-laki seshalih apa pun akan tergoda jika disenjatai seorang wanita. Pikirannya dipenuhi su`uzhan.

Masakan yang belum matang pun dibiarkannya. Biar saja, biar mas Wito kesal. Biar mas Wito tahu aku juga lagi kesal, batinnya.

Setelah shalat maghrib, dihempaskannya tubuhnya ke kasur. Menutup wajah dengan bantal, dan berteriak, “Mas Wito jeleeeeeeeeeeeeeeee…k!!” lalu menangis dan tertidur.

Rika terbangun tengah malam. Dilihatnya suaminya sedang duduk, belum ganti baju. Mungkin baru tiba.
“Loh? Ika kok malah bangun? Ayo tidur lagi, pasti kecapekan ya ngurus rumah,” kata Wito sambil tersenyum pada istrinya. Namun ternyata senyumannya dibalas dengan wajah yang cemberut.
“Kok cemberut sih, say?” Wito mendekati Rika.
“Wajah Ika emang kayak gini kok, nyesel ya udah milih akhwat yang gak cantik?”
“Loh, Ika kok ngomong begitu? Ika marah karena Mas pulang telat ya? Afwan ya. Mas kan cari ma`isyah untuk sang Aisyah,” rayu Wito sambil mengusap dagu istrinya.
“Mas sibuk, sampai-sampai lupa sama Ika. Dalam hidup Mas yang terpenting adalah pekerjaan. Kenapa sih dulu milih Ika untuk jadi istri, kenapa gak pilih pekerjaan aja buat jadi istri?” Wito tersenyum geli. Dibiarkannya istrinya itu meluapkan emosi yang mungkin dari tadi ditahannya.
“Aku pikir setelah menikah akan dapat cinta. Namun apa yang kudapat? Sepi. Mas sama sekali gak perhatian, sama sekali gak senang dikangenin istri. Mas juga gak kangen kan sama Ika? Pasti, karena di kantor ada yang lebih cantik dari Ika. Klien-klien mas yang perempuan juga pasti lebih ok dari Ika. Ika sebel sama Mas Wito. Sebeeeeeeeee…l!!!”
Wito merangkul istrinya yang masih bilang “Sebel” itu.
“Ika…,” katanya pelan.
Rika menangis sesenggukan dalam dekapan Wito.
“Mas kangen.” (zulfirani)

22 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar