Selasa, 11 Januari 2011

Skenario

Sebenarnya kami bukan gadis bengal yang sering menjadi provokator keonaran di sekolah atau di mana pun. Kami bertiga gadis yang biasa saja. Bahkan Mima, Weni dan aku tidak termasuk golongan populer di tempat kami mengenyam pendidikan menengah atas ini. Mungkin yang mengenal kami hanya teman sekelas dan beberapa teman lain yang dulu satu SMP dengan kami, seperti Ceri.
Ya, Ceri, Gadis yang membuat kami berubah jahat, walaupun tidak sampai menjadikan kami tenar di sekolah. Di mata masyarakat SMA Angkasa Raya kami tetap seperti dulu.
Beberapa bulan yang lalu, kami tak sengaja memergokinya sedang ditangkap security sebuah toko kaset di sebuah mall. Ceri ketahuan mencuri beberapa CD. Toko kaset tersebut memiliki keamanan yang optimal. Semua barang yang mereka jual, kaset, CD, DVD, dan lain-lain diberi stiker pengaman yang gunanya jika ada pencuri akan ketahuan setelah melewati pintu masuk-keluar yang ada alarmnya. Alarm tersebut akan berbunyi, maka security pun dengan mudah menangkap sang maling.
“Kita tungguin si Ceri dulu,” kata Mima.
“Ngapain juga kita nungguin?”
“Aku ada ide bagus,” Mima tersenyum jahil. Dia memang paling jahil di antara kami bertiga.
“Apaan?”
“Kita palakin si Ceri.”
“Maksudnya?” tanya Mima.
“Gini, jadiin kejadian ini sebagai senjata kita buat malak si Ceri.”
Aku terkejut dengan ide yang disampaikan Mima, “Apa gak keterlaluan, Mim?”
Mima menggeleng sambil terkekeh, “Tenang aja, kita cuma ngegertak dia aja, biar dia gak sok lagi.”
Ceri, teman sekelas kami ketika masih SMP memang a lucky girl. Cantik, pintar, punya pacar ganteng dan populer. Namun gadis berambut ikal itu sangat sombong. “Sorry ya, kalian bukan levelku, jadi gak bisa sekelompok sama aku,” katanya ketika ada tugas kelompok Biologi di SMP.
Dongkol sekali kami ketika itu. Ingin membalas, tapi tak tahu dengan cara apa. Akhirnya setelah sekian tahun kami diberi kesempatan untuk memberi Ceri pelajaran, sekarang.
Ceri keluar dari ruangan security dengan wajah pucat dan mata sembab. Kami mencegatnya. Dia tampak terkejut melihat kami bertiga.
Kami menyambutnya dengan senyuman. Senyum penuh kepuasan melihatnya ada dalam situasi sulit. “Kamu pencuri, Cer.” Mima mencegat. Ceri salah tingkah.
“The lucky girl comes poor girl,” kataku. Kami bertiga tertawa.
“Girls, kayaknya bakalan seru ya, kalo seisi sekolah tahu bahwa murid terpopuler ini tidak lebih dari sekedar seorang pencuri,” kutekankan kata ‘pencuri’ di dekat telinga Ceri.
“Apa mau kalian?” tanya Ceri, suaranya bergetar. Kami tertawa. Dalam hati aku kasihan juga, namun tak ada salahnya memberinya sedikit pelajaran.
“Hmm…apa ya, teman-teman?” tanya Weni.
“Gampang lah, kita gak akan bikin kamu susah tahu mau kami apa,” tukas Mima.
“Uang?”
“Emang pencuri CD punya uang ya?” pertanyaan retorisku.
“Lalu apa?”
“Udah lah, kita langsung bikin selebaran aja, ngumumin soal ini,” kata Mima.
“Jangan, aku mohon,” Ceri ketakutan, “Akan kuberi apa yang kalian mau, tapi please jangan sampai yang lain tahu soal ini. Reputasiku bisa rusak.”
“Ok ok, kami cuma minta kamu memberi kami uang tiga ratus ribu per minggu. Setiap hari Sabtu kamu harus setorkan pada kami. Gimana, deal?”
“Aku mana ada uang sebanyak itu?”
“Ya terserah, kalo emang kamu gak mau ya gak apa-apa. Kami yakin kamu tahu akibatnya.”
Ceri tampak kebingungan. “Ok kalo gitu, aku usahain.”
Ceri pun pulang dengan wajah mendungnya.
“Dapat ide dari mana minta uang tiga ratus ribu ribu segala?”
“Ngawur kok,” jawabku. Kami tertawa. “Lumayan lah buat nambah-nambah uang saku, siapa tahu kebeli BB,” tambahku.
***
“Lama amat sih, gak biasanya si Ceri telat kayak gini,” gerutu Mima.
Mima menyulut rokok, menghilangkan udara malam yang dingin akibat mendung seharian.
Kami menunggu Ceri di depan apartemen tempat tantenya tinggal. Sore tadi Ceri mengubah tempat kami janjian, katanya dia akan minta uang pada tantenya.
Sudah hampir satu jam dari waktu yang seharusnya Ceri sudah menyerahkan setorannya yang ke-tiga, namun dia belum muncul juga.
Lamat-lamat aku melihat seseorang berdiri di balkon lantai empat apartemen itu. Aku memperhatikannya. Seorang gadis tampak akan melakukan hal yang tak wajar. Astaga, sepertinya dia mau menjatuhkan dirinya dari sana. Dan gadis itu…
“Ceri!!!” jeritku.
Kontan Mima dan Weni mengikuti arah penglihatanku.
Seketika tubuh Ceri jatuh dari lantai empat apartemen. Kami bertiga spontan berlari menghampiri tubuh itu. Darah keluar banyak dari kepalanya.
Weni menangis kemudian memelukku, “Dia bunuh diri.”
Mima mendekati tubuh itu, memastikan keadaan Ceri.
“Kayaknya dia mati,” katanya, “Aku menemukan ini,” lanjut Mima.
Sebuah amplop yang sudah kusut karena dipegang erat oleh Ceri.
“Sebaiknya kita segera pergi, sebelum terjadi sesuatu yang tidak menguntungkan kita,” ajak Mima. Kami pun pergi. Meninggalkan Ceri. Meninggalkan tubuh yang sudah tak bernyawa itu.
Rasa bersalah menggelayutiku. Tuhan, apakah ini salah kami?
Pertanyaanku itu terjawab oleh isi surat wasiat yang ditinggalkan Ceri.

Aku sudah tak tahan lagi dengan kelakuan mereka bertiga. Keparat kamu Mima! Keparat kamu Weni! Keparat kamu Sela! Aku benci kalian yang udah bikin aku menderita. Ini semua gak adil! Kalian seenaknya memerasku. Aku mati bukan karena bunuh diri, tapi kalian bertigalah yang telah membunuhku.

Isi surat itu bentuk protes Ceri atas apa yang kami lakukan terhadapnya.
“Ini harus kita musnahkan, kalo gak tamatlah kita.” Mima menyalakan api dari pemantik rokoknya. Surat wasiat itu terbakar.
Sunyi. Kami bertiga dengan pikiran masing-masing. Dapat kudengar desah napasku juga kedua temanku itu. Tak dapat disembunyikan, kami bertiga memang merasa sangat bersalah.
“Hei, kenapa jadi tegang begini sih?” tanya Mima. Dia tertawa, berusaha menetralkan keadaan.
“Ok, gak ada yang tahu tentang ini. Hanya kita. Ini rahasia kita bertiga, sampai mati,” lanjutnya dengan nada serius.
Aku mengangguk, Weni pun.
“Sudahlah. Kejadian ini selesai. Besok merupakan hari yang sebelum besok tidak pernah terjadi apa-apa.”
Kami tertawa. Namun hati tak dapat berbohong, kami menangisi kesalahan kami. Ceri, maaf.
***
Sekolah gempar atas kematian Ceri. Gadis populer itu meninggal karena bunuh diri. Namun tak diketahui penyebab Ceri melakukan hal itu. Tentu. Tidak ada yang tahu. Kami pun tak tahu.
“Kasihan ya, padahal baru enam belas tahun.” Begitu komentar orang-orang. Kami hanya mengiyakan saja.
Kasus kematian Ceri ditutup, karena tidak ada bukti yang menunjukkan ada dalang di balik kematiannya. Polisi maupun keluarga berpendapat ini pure bunuh diri.
***
Entah setan apa yang merasuki kami. Namun setelah kejadian itu…
“Kita harus segera mencari pengganti Ceri,” kata Mima.
“Untuk apa?” tanyaku.
“Apa kamu gak ngerasa enaknya kita dapet uang tambahan?” tanya Mima padaku. Ya betul, aku yang hanya anak seorang penjual gado-gado ini memang merasa asyik dengan uang pemberian Ceri. Sejak itu aku jadi bisa menikmati gaya hidup anak-anak mampu. Bisa jalan-jalan ke mall, makan di café-café yang yahud. Ya, rasanya aku belum mau melepaskan gaya hidup seperti itu.
“Tapi sekarang kita harus lebih hati-hati milih korban. Kita harus bisa pastikan dia tidak akan melakukan apa yang dilakukan oleh Ceri.”
Aku mengangguk setuju.
“Siapa? Ada ide?”
***
Kami kembali ke tempat itu. Tempat di mana kami memergoki Ceri ditangkap security dua bulan lalu. Siapa tahu ada gadis yang bisa menjadi pengganti Ceri sebagai supplier uang bagi kami bertiga.
“Itu, anak itu saja,” tunjuk Weni. Seorang gadis yang memakai seragam SMA sekolah kami tengah memilih-milih CD.
“Itu kan Siha anak kelas 2.3 si siswa teladan,” kata Mima. Kupikir itu akan lebih menguntungkan kami. Siha pasti akan mau diajak kerja sama, selain itu Siha adalah anak orang kaya, maka uang yang akan kami dapat pun pasti lebih banyak.
“Bagus,” kataku. Kedua temanku mengangguk setuju.
“Ok kalo gitu, saatnya beraksi.”
Bruk!!
“Aduh, sorry aku lagi buru-buru,” kataku.
“Eh, gak apa-apa. Hati-hati,” kata Siah.
Aku pun berlalu, menghampiri kedua temanku. Kami ber-toast.
Tak berapa lama…
Tuit…tuit…tuit…
Alarm toko berbunyi.
Gadis itu ditangkap security.
“Sukses!” seru kami penuh kemenangan.
Siha kembali dari ruangan security. Ekspresi wajahnya hampir mirip dengan ekspresi wajah Ceri ketika dua bulan lalu kami mulai menjahilinya. Namun Siha tampak lebih tenang. Mungkin karena dia memang tidak bersalah.
“Wah, teman-teman, coba bayangkan siswa teladan sekolah kita kedapatan mencuri,” Mima tersenyum licik.
Siha tampak terkejut. “Eh, bu…bukan, itu cuma kesalahpahaman aja kok.”
“Salah paham bagaimana? Toh barang bukti ada di tas kamu kan?”
Siha terlihat serba salah.
“Kalo kami beritahu pihak sekolah dan orang tuamu, pasti kamu gak mau kan?”
Siha tak menjawab. Wajahnya pucat.
“Kalo gitu mending kita rundingkan dulu.” Mima merangkul Siha. “Aku dan teman-teman mau membeli sesuatu,” imbuhnya.
“Ka…kalian mau memerasku?”
“Sudahlah, Siha, gak usah negative thinking sama kita. Toh kami bertiga bermaksud menyelamatkan masa depanmu.”
Wajah Siha makin pucat. Dia merogoh tas sekolahnya.
“Ini, silakan kalian ambil semuanya.” Siha menyerahkan dompetnya pada kami.
Sepertinya siswa teladan sekolah kami ini mulai mencerna kejadian yang dialaminya tadi. Ya, akulah yang memasukkan CD ke dalam tas Siha ketika bertubrukkan tadi. Mmm…tepatnya berpura-pura tubrukan.
“Cuma segini? Mana cukup untuk membeli barang-barang yang akan kami beli,” Mima mendesah.
“Ya sudah, sebaiknya kamu menyiapkan uang yang lebih banyak. Kami tunggu hari Minggu jam lima sore di taman kota.” Kami meninggalkan Siha dengan wajah memelasnya.
“Ceri!!” pekik Weni, wajahnya menjadi pias.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“I…i…itu barusan aku lihat Ceri.”
“Hus…mustahil. Mungkin hanya orang yang mirip sama Ceri. Sudah kita pulang saja,” ajak Mima.
***
Biasanya saat istirahat aku dan kedua sahabatku ngobrol dan ngemil di bawah pohon mangga dekat kelas kami. Namun hari Sabtu itu Mima tidak masuk. Tidak seperti biasa, kali itu tak ada kabar dari Mima.
“Dia gak SMS kamu atau aku, kemana ya?”
“Biar aku telpon aja ke rumahnya ya.”
Betapa kagetnya kami mendengar berita, bahwa sahabat kami, Mima meninggal semalam.
“Mima OD. Semalam dia minum obat tidur terlalu banyak,” jelas sepupunya.
“Mengerikan! Mima bukan orang yang mudah minum obat.”
Aku mengangguk, menyetujui apa yang dikatakan Weni.
“Mungkin Ceri balas dendam pada kita.” Aku terkejut Weni berkata seperti itu.
“Jangan gila,” kataku.
“Sela, aku yakin yang aku lihat di toko kaset tempo hari itu Ceri, bukan orang yang mirip dengannya.”
Aku menggebrak meja. “Wen, Ceri itu udah meninggal, gak mungkin balas dendam.” Dalam hati aku ciut, mulai ketakutan.
Weni menatapku serius, “Jika ini memang sebuah balas dendam, berikutnya giliranku atau kamu.”
“Hentikan, Weni! Mungkin semalam Mima sedang butuh banget obat tidur.”
“Entahlah, Sela.” Kami terdiam memikirkan hal ini.
Pulang sekolah kami dan beberapa teman juga guru melayat ke rumah Mima. Aku tak tahan melihat sahabatku seperti itu. Mima sudah menjadi jenazah.
***
Minggu sore, aku, Weni dan Siha janjian bertemu. Ini kali ketiga Siha menyetor uang kepada kami.
Lima tiga puluh, Weni masih belum datang. Uang setoran Siha sudah ditanganku.
“Kemana ini anak?”
Kuhubungi ponselnya, tak aktif. Ditelpon ke nomer rumahnya, selalu sibuk. Lalu kuputuskan untuk langsung ke rumah Weni.
Sesampainya di rumah Weni, aku dibuat terkejut oleh bendera kuning yang tergantung di pagar rumahnya. Siapa yang meninggal?
Tante Lara, mama Weni menangis di pelukanku. “Weni jatuh ke sumur, Sela.” Beliau meraung, seperti tak terima anaknya meninggal.
Jatuh ke sumur? Bukankah sumur di belakang rumah Weni sudah di tutup?
***
Aku kalut. Kedua sahabatku meninggal dengan cara yang tak wajar. Mungkin yang dikatakan Weni benar, ini adalah balas dendam Ceri. Ah, kejadian-kejadian ini membuatku gila.
“Sela!” seseorang menyentuh pundakku dari belakang. Siha.
“Puas kamu, karena sekarang aku sendiri?” tanyaku ketus.
“Tidak…bukan begitu…”
Tiba-tiba aku begitu merasa sepi. Tak ada yang membersamaiku lagi. Cuma ada Siha. Aku membutuhkannya. Aku peluk dia.
“Ini semua salah kami,” kataku sambil menangis dalam pelukan Siha.
Hanya butuh waktu beberapa menit untukku menceritakan semuanya pada Siha.
“Mungkin setelah ini aku yang akan mati,” kataku lemas.
“Hmm…aku pikir sebaiknya kamu mengaku saja pada orang tua Ceri,” Siha memberi nasihat.
“Gak mungkin, bagaimana dengan cita-citaku, masa depanku?”
“Bukankah masa depan Ceri pun sudah pupus?” Pertanyaan retoris itu menohokku.
“Siha, apa yang aku ceritakan barusan tidak benar. Lupakanlah.” Kutinggalkan Siha. Bodohnya aku sampai keceplosan cerita yang seharusnya terkubur bersama Ceri, Mima dan Weni.
***
Malamnya aku bertamu ke rumah Siha untuk meminta maaf.
“Maaf, Siha, aku bertamu malam-malam begini.”
“Gak apa-apa. Yuk masuk,” ajaknya.
Siha mengajakku ke kamarnya di lantai atas. Pembicaraan kami tak boleh diketahui orang tuanya.
“Siha, aku sudah memutuskan untuk menerima saranmu yang tadi siang. Aku akan beberkan semua pada orang tua Ceri.”
“Baguslah, aku pikir itu lebih baik.”
Kudorong tubuh Siha ke pembatas balkon kamarnya. Kucekik dia.
“Se…la, a…pa ya…ng a…kan ka…mu la..ku…kan?”
“Apa kamu pikir aku bodoh? Karena ketakutan, tanpa sengaja aku keceplosan menceritakan semuanya sama kamu.”
Siha meronta.
“Kamu mati saja seperti Ceri, Mima dan Weni, agar tak ada lagi yang tahu kesalahanku.”
Kuperdalam cekikanku. Lalu…
Tiba-tiba ada sebuah tangan menggenggam erat pergelangan tanganku. Cekikanku terlepas dari leher Siha.
Tangan itu menarikku hingga melewati balkon. “Ti…ti…tidak…ja…ja…jangan, ma…af…kan…a…ku…, Ce…ri.” Aku terbata.
Namun tanpa ampun arwah Ceri terus menarikku. Kurasakan kakiku tak berpijak lagi di balkon kamar Siha. Bruk…aku pun tak pernah bangun lagi. (27-28/1/2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar