Selasa, 11 Januari 2011

Yang Berharga Bagi Eva

Kutatap wajah istriku yang terlelap tidur. Terlihat lebih tua dari usianya. Namun yang pasti tetap secantik dulu.
Lalu kutatap foto yang sedang kupegang. Foto usang ini kutemukan sehari setelah istriku masuk rumah sakit karena leukemia.
Tak kusangka Eva masih menyimpan foto ini. Milikku entah kemana. Mungkin terselip di antara buku buku bekasku yang setiap habis kenaikan kelas selalu dijual bapak ke tukang loak.
Yang menjadi pusat perhatianku adalah bulatan hitam di atas foto pada wajah Cakra, salah satu teman kami ketika SD.
Mungkin dulu istriku menyukainya. Namun tak berani terus terang dan hanya mampu memberi bulatan pada foto wajahnya. Bulatan istimewa.
Kuakui aku cemburu. Sangat cemburu. Kenapa harus Cakra? Kenapa bukan aku? Ah bodohnya aku, itu kan cinta monyet. Cinta yang dirasakan istriku dua puluh satu tahun yang lalu. Kenapa mesti cemburu pada Cakra? Toh yang sekarang menjadi suaminya adalah aku.
“Mas…,” panggilnya lemah.
Segera kudekati istriku, “Eva mau apa?”
Eva tersenyum dan menggeleng.
“Ada yang sakit? Biar Mas panggilkan dokter,” kataku.
“Gak ada dan gak usah pangil dokter, karena Eva ingin berdua Mas.”
Kugenggam tangannya yang lemah kemudian kucium perlahan.
“Maafkan Eva ya, Mas, selalu bikin Mas repot.”
“Mas gak merasa direpotkan. Ini sudah kewajiban Mas, Va.”
“Eva sangat bersyukur telah dianugerahi suami sebaik Mas.”
Aku tersenyum bahagia mendengarnya, “Mas pun bersyukur dianugerahi istri yang baik seperti Eva.”
Beberapa menit kemudian Evaku terlelap kembali. Kucium keningnya. I love you, Eva.
***
Aku terhenyak mendengar keterusterangan dokter Abas, “Jadi maksud dokter, istri saya…”
“Ini baru perkiraan medis, Pak. Allah Yang Maha Memutuskan.”
Dengan lemah kulangkahkan kaki keluar dari ruangan dokter Abas.
Kukira hanya ada dalam cerita rekaan manusia saja. Namun sekarang terjadi padaku, pada istriku. Ah, tak mau kubayangkan akan kehilangan Eva beberapa minggu lagi.
Aku tak langsung masuk kamar inap istriku. Tak mungkin menemuinya dengan mata sembab. Aku tak ingin membuatnya sedih, apalagi di akhir sisa usia yang diperkirakan ahli medis itu.
Kupuskan untuk berwudlu, lalu ke masjid rumah sakit untuk shalat sunnah tahiyyatul masjid. Sambil menunggu dzuhur yang beberapa menit lagi, kubaca al-Qur’an. Semoga dengan membaca ayat ayat cinta Allah ini hatiku lebih tenang.
Setelah shalat ba`da dzuhur, aku bangkit untuk kembali ke kamar inap istriku. Sebelum masuk, aku berkaca dulu di cermin wastafel di dekat pintu kamar, memastikan tak ada sisa sembab.
“Mas kemana aja sih?” tanya Eva.
“Tadi ke masjid shalat dulu.”
“Mas tadi do`ain Eva apa?”
“Mas berdo`a supaya Eva cepat sembuh.”
Eva tersenyum kecut.
“Amin,” ada keraguan dalam katanya.
“Mas, kok Eva kepikiran Indah ya? Inget gak temen kita waktu SD.”
Memoriku berusaha mengingat orang yang bernama Indah.
“Hmm…Indah Sari bukan?”
“Iya. Eva pengen banget ketemu sama Indah.”
“Memang Eva tahu sekarang Indah di mana?”
Eva menunduk dan menggeleng, “Terakhir bertemu ya waktu perpisahan SD. Yang kudengar Indah ikut pindah bersama orang tuanya ke Padang.”
Kukupas apel untuk camilan Eva siang itu.
“Mas mau gak nyari Indah buat Eva?”
Kutatap matanya. Cinta, aku tak mau berpisah sedetik pun denganmu. Waktu kebersamaan kita tidak banyak, batinku.
“Insya Allah,” jawabku berusaha menyenangkan hatinya.
“Kapan Mas mau ke Padang?” tanya Eva antusias.
“Eva, Mas gak akan langsung ke sana. Mungkin saja Indah ada di kota ini kan? Jadi mungkin Mas akan mencarinya dulu di Bandung.”
Eva mengangguk, “Mudah mudahan ketemu ya, Mas.”
“Insya Allah. Memang Eva kebelet banget ya pengen ketemu?”
“Iya,” katanya tersenyum.
“Kenapa?”
“Kangen aja.”
“Hanya itu? Masak kangen sebegitu inginnya ketemu, sampai sampai Mas diminta cari jauh jauh ke Padang.”
“Mmm…sebenarnya ada barang Eva di Indah dan barang Indah di Eva. Kita tukeran barang berharga sebagai simbol persahabatan abadi.”
Aku terkekeh. Perempuan. Ada ada saja tingkahnya.
“Mas kok ketawa?”
Tak kujawab pertanyaannya itu. Kumasukan sepotong apel ke dalam mulutnya.
“Ayo maem apelnya dulu.”
***
Pagi paginya kondisi istriku drop. Aku panik. Mertuaku berusaha menenangkanku.
“Tenanglah, Bayu. Bukankah ini memang sering terjadi pada Eva? Semuanya akn baik baik saja.”
Mertuaku belum tahu tentang yang dikatakan dokter Abas kemarin, “Menurut perkiraan tim medis, ibu Eva hanya mempunyai waktu beberapa minggu lagi.”
Eva. Perempuan yang sudah kukagumi sejak pertama kali bertemu di sekolah dasar kelas tiga.
Kala itu, kelasku kedatangan murid baru pindahan dari Jakarta. Dia cantik dan ramah. Ibu Ita, wali kelas kami menempatkan gadis cilik nan cantik itu tepat di sampingku. Dia sebangku denganku. Betapa girangnya aku saat itu. Namun tak kulukiskan dalam sikap, hanya tersimpan di hati.
Saat dia tiba di bangkuku, ia memamerkan senyumnya yang manis. Namun tak kubalas senyumannya itu. Aku malah membuang muka. Mungkin saat itu dia kaget. Kok dapat perlakuan yang kurang bersahabat dari teman sebangku barunya.
Sebenarnya aku peduli, namun aku bukanlah orang yang mudah simpati pada orang lain. Sikapku yang dingin dan kurang bersahabatmemang telah terkenal seantero sekolah juga lingkungan tempat tinggalku. Dan yang jelas aku tak begitu suka makhluk berjenis kelamin perempuan setelah tahu bahwa ibuku meninggalkanku dengan ayah demi laki laki lain
Selama tiga tahun kami sebangku, namun percaya atau tidak, aku tak pernah menyapa atau menjawab sapaannya.
Saat itu aku heran, kenapa dia tak menyerah untuk tidak menyapaku, padahal telah kutunjukkan sikap yang tidak bersahabat.
Barulah saat perpisahan SD aku mau menjawab sapaannya, “Hai juga, Eva.”
Setelah itu kami berpisah untuk waktu yang lama. Namun Eva masih ada di hati ini.
Allah Mahabaik, Dia mempertemukan kami di universitas yang sama. Aku kuliah di fakultas tekhnik, sedangkan Eva di fakultas sastra.
Saat bertemu kembali untuk pertama kali, akulah yang menyapanya duluan, “Assalamu`alaykum, Eva Anita ya?”
Aku masih mengenalnya, walaupun sekarang Eva sudah dewasa dan berjilbab pula.
“Wa`alaykumussalam…,mmm siapa ya?”
Ada kecewa dalam hatiku. Ah, Eva lupa padaku.
“Herbayu Laksana, masak tak ingat pada teman sebangku di SD?”
“Ah iya. Beda kau sekarang, ramah nian.”
Kami berdua pun tertawa.
Sejak mengenal agamaku lebih dalam, akhirnya aku sadar bahwa sejelek apa pun akhlak seorang ibu, dia tetap seorang ibu yang wajib dihormati. Walaupun sampai saat ini tak jelas keberadaannya di mana, aku tak benci ibu lagi, pun tak rindu. Biarlah seperti ini.
Dan yang pasti Rasulullah mengajarkan untuk bersikap baik pada sesama. Sejak saat itulah kuperbaiki sikapku yang kurang baik, walaupun sungguh harus berjuang keras untuk itu.
Eva terlihat lebih pucat saat bertemu lagi pertama kali itu. Namun tingkahnya masih riang.
Lalu mengalirlah cerita masa lalu, cerita yang global global saja. Karena tak ada cerita spesial antara kami, hanya cerita sepasang teman sebangku yang tak pernah bercakap cakap padahal tiga tahun duduk berdampingan.
Setelah lulus kuliah dan mendapat pekerjaan, kuberanikan melamar Eva. Tanpa diduga sebelumnya Eva menerima pinanganku. Akhirnya kami menikah.
Belakangan aku pun tahu, bahwa ketika pertama bertemu kembali di kampus, Eva sudah melihatku duluan, namun tak mau menyapa terlebih dahulu, karena takut dicuekin lagi, katanya. Aku selalu tertawa bila ingat ini.
Dalam rumah tangga kami bukan tak pernah ada sosok buah hati. Eva sempat hamil dua kali, namun dua duanya gugur sebelum sempat melihat dunia.
Leukemia membuat rahimnya tak kuat ditempati buah hati kami. Dan setelah keguguran yang kedua, dokter menganjurkan agar Eva tak hamil lagi demi kesehatannya.
Anjuran dokter pun kami terima dengan terpaksa, walaupun dalam hatiku sangat menginginkan seorang anak. Aku yakin dalam hati pun Eva menginginkan yang sama. Namun kuyakin bahwa tujuan sebuah pernikahan bukan hanya untuk melahirkan anak.
Sempat istriku itu menganjurkanku untuk menikah lagi.
“Enggak. Mas gak akan menikah lagi hanya karena menginginkan anak. Kita bisa merawat anak dari panti asuhan kan?”
Sejak saat itu masalah anak tak pernah kami bahas lagi. Kami pun tak pernah mengangkat anak untuk kami urus di rumah, karena kondisi Eva tak memungkinkan. Kami hanya memberikan santunan semampu kami ke beberapa panti asuhan. Itu sudah membuat kami bahagia dan merasa memiliki buah hati.
“Ibu Eva sudah tidak apa apa.” Perkataan dokter Abas itu membuyarkan lamunanku. Aku segera masuk ke kamar inap Eva.
Kulihat istriku terbaring lemah namun masih berusaha memberikan senyum manisnya padaku.
“Mas, udah cari Indah?”
Baru melewati masa kritis seperti itu Eva masih saja menanyakan perihal Indah.
“Belum. Sudah lah, Eva istirahat dulu ya. Jangan bicarakan apa apa dulu.”
“Tapi ini penting bagi Eva, Mas. Tolong, cari Indah untuk Eva. Eva ingin barang berharga Eva kembali,” cintaku menangis.
Aku tak tahan melihatnya, “Ok ok, besok Mas cari ya. Sekarang Eva istirahat dulu.”
Eva pun menurut. Tak berapa lama matanya tepejam.
Dalam hati aku bilang, mungkin saja ini permintaan terakhir dari Eva. Aku harus mencari Indah sampai dapat.
Namun tak mungkin aku meninggalkan istriku, sementara kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Maka segera kuhubungi temanku, pak Aris untuk mencari perempuan bernama Indah Sari yang dulu bersekolah di SD Suri Tauladan.
***
“Mas, Indah udah ketemu?”
Selalu kalimat itu yang ditanyakan Eva.
“Belum, Va. Insya Allah sebentar lagi ketemu. Kata pak Aris ada kemungkinan Indah ada di Surabaya. Nanti kalau udah ketemu, Mas langsung minta pak Aris mengantarkan Indah ke sini.”
“Semoga ketemu, Mas.”
Sebegitu berhargakah barang yang ingin itu kembali padamu, Cinta?
Ponselku bunyi, “Assalamu`laykum, gimana pak Aris?”
Ternyata benar, Indah Sari ada di Surabaya. Pak Aris dapat memastikan, bahwa perempuan yang bernama Indah Sari ini benar benar Indah Sari yang kucari.
“Ibu Indah bilang dulu ketika SD memang tinggal di Bandung, Pak. Lalu pindah ke Padang. Di Surabaya baru dua tahun ikut suaminya yang dinas di sini.”
“Ok, Pak Aris. Tolong antarkan Indah ke Bandung langsung ke rumah sakit ya.”
Pembicaraan berakhir. Ku-reject ponselku.
Ingin sekali kubangunkan istriku untuk memberi tahunya, bahwa Indah akan segera datang ke mari. Namun melihatnya lelap, tak tega aku membangunkannya.
Sore hari, keadaan istriku drop lagi, bahkan lebih parah dari sebelumnya. Aku cemas. Allah, jangan sekarang, kumohon.
Namun ternyata Allah berkehendak lain. Ba`da maghrib, istriku berpulang. Aku menangis sendu. Sedih ditinggalkannya juga sedih karena permintaan terkahirnya bertemu Indah, sahabat kecilnya, tak bisa kukabulkan.
Sebenarnya sejam yang lalu pak Aris mengirim pesan, bahwa dia dan Indah telah sampai di bandara Soekarno-Hatta. Setelah itu melanjutkan perjalanan ke Bandung dengan mobil yang telah disiapkan pak Aris.
Kedatangan Indah yang terlambat kupikir tak sia sia. Walaupun tak bisa mempertemukan dua sahabat karib di masa kecil ini, setidaknya aku dapat tahu apa barang berharga milik Eva yang sekarang masih di tangan Indah.
Indah menangis, menyesali keterlambatannya. Namun tentu saja ini bukan salahnya, bukan salah siapa pun. Ini sudah skenario Allah.
Esoknya pemakaman Eva berlangsung khidmat. Kuusap nisan yang bertulisakan nama Eva Anita Laksana. Aku merindukanmu, Cinta.
Setelah itu, barulah ada kesempatan untuk berbincang bincang dengan Indah. Baru kusadari tenyata Indah datang tak sendiri. Dia bersama suaminya.
Indah yang kukenal dulu, sangat berbeda dengan Indah cilik ketika SD. Indah pun berkomentar demikian mengenaiku.
“Kau tahu, Bayu, kisah cinta kalian begitu luar biasa. Aku tak sangka sepasang teman sebangku yang tak pernah bercakap cakap, sekarang malah jadi suami istri.”
Aku tersenyum, “Alhamdulillah.”
“Oh iya, apa kamu tahu kalau aku dan Eva pernah bertukar barang berharga kami masing masing?”
“Iya. Sebenarnya untuk itulah Eva memaksaku untuk mencarimu, Ndah. Aku sendiri penasaran, apa sih barang berharga istriku?”
“Apa Eva masih menyimpan barang berhargaku? Kamu tahu di mana dia simpan? Sebenarnya aku sudah tak butuh dan tak peduli lagi pada barang itu. Namun aku harus menghargai Eva yang telah menjaganya untuk sahabatnya ini.”
“Maaf, Indah, namun Eva tak pernah beri tahu aku di mana dia simpan. Dan lagi pun aku tak tahu apa barang berhargamu?”
“Sebuah foto,” jawabnya.
Aku heran, “Foto apa, Ndah?”
“Foto waktu kita foto bersama sekelas.”
Aku pun teringat foto yang kutemukan di box pribadi Eva beberapa minggu lalu. aku beranjak untuk mengambil foto itu.
“Inikah?” tanyaku.
“Ah, iya,” Indah tersenyum kuyakin bukan hanya senyum bahagia karena barang berharganya masih tersimpan rapi, namun senyum syukur karena sahabatnya telah menjaga amanahnya selama hampir dua puluh satu tahun.
“Kamu tahu, Bayu, dulu aku suka Cakra. Makanya kutandai wajahnya dalam foto ini,” katanya.
Aku tersenyum simpul sekaligus lega. Ternyata bukan Eva yang menyukai Cakra, melainkan Indah.
“Indah, lalu barang berharga punya Eva?”
“Ah, maaf hampir saja lupa.”
Indah membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah amplop coklat.
“Ini barang berharga milik Eva.”
Kuterima amplop coklat itu, lalu kubuka.
Aku terenyuh, senang, sedih, bahagia, sesal, rindu, semuanya bercampur tatkala kulihat foto usang yang sama dengan yang dimiliki Indah, namun tinta hitam itu tepat membulati gambar wajahku. [zulfirani/06/12/2009]--terinspirasi dari sebuah drama Korea, judulnya lupa :p yang inget diperankan oleh Lee Young Ae (Dae Jang Geum)--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar