Selasa, 11 Januari 2011

Maafkan Abang, Nia

Ba`da shalat shubuh dan dzikir sebentar, aku segera pamit pada ustadz untuk pulang duluan.
Kukecup tangannya, mengaminkan do`a yang beliau lisankan tatkala setiap ada jama`ah yang mencium tangannya, “Barakallah lak.”

Aku bergegas pulang. Sebenarnya tak ada yang penting pagi ini, hanya saja aku tidak mau melewatkan kejadian langka, yang terjadi hanya seminggu sekali. Kejadian yang begitu spesial, hanya bagiku mungkin. Ya, tapi aku tak peduli walaupun tak ada yang mengistimewakan kejadian ini selainku, malah karena itulah kejadian yang kuanggap spesial ini bertambah istimewa. Terlalu berlebihankah aku? Entah, yang jelas aku suka.

Lima lebih dua puluh, masih ada sepuluh menit lagi. Biasanya Nia melintasi jalanan depan rumahku pukul lima tiga puluh. Ya, inilah yang kumaksud kejadian istimewa, memperhatikan seorang Nia berjalan menuju pasar untuk belanja kebutuhan sehari-hari keluarganya.

Aku telah mengenalnya sejak SD. Nia tiga tahun lebih muda dariku. Pertama kali melihatnya, aku tertarik dengan legokan yang dipamerkan kedua pipinya tatkala tersenyum. Terlihat sangat manis.

Namun sekarang, lebih dari itu. Kurasa aku menyukai apa pun yang ada di diri Nia. Semua terlihat begitu sempurna.

Secret admirer, mungkin itulah aku pada Nia. Aku telah menyukainya mulai SD hingga sekarang, tak ada gadis lain di hati dan pikiranku selain Nia.

Pakai jilbab warna apa ya, Nia hari ini? Minggu lalu seingatku Nia berjilbab coklat, minggu lalunya hijau. Ah…, entah kenapa aku ini, segala tentang Nia membuatku tertarik. Namun kuyakin, ini bukan sebuah obsesi. Mungkin cinta.

“Haaam…!”
Duh, ibu kenapa manggil pas detik-detik Nia mau lewat?!!

“Haaam, siniii!!!” panggil ibuku lebih keras.
Ah, Nia bisa kulihat lagi jika waktunya dia pulang dari pasar, sekitar pukul tujuh, aku tahu pasti.
Aku pun bergegas memenuhi panggilan ibu.
***
Tak ada seorang pun yang tahu tentang perasaanku terhadap Nia. Ku tutup rapat soal ini. Ah, biarlah aku dan Allah saja yang tahu. Nia pun tak perlu tahu, kupikir baguslah. Agar aku tak canggung bila bertemu dengannya ketika berkunjung ke rumahnya, menemui ustadz Zuhud, ayahnya.

Namun makin hari perasaanku terhadap anak gadis guruku itu semakin dalam. Aku mulai takut kehilangannya. aku tahu pasti, kompetitorku banyak.

Nia, seorang muslimah shalihah, elok, cerdas, aktif, ramah, rendah hati, dan satu keberuntungan Nia, dia adalah anak gadis dari ustadz yang begitu dihormati di desa ini. Munafik benar pemuda yang menolak jika dijodohkan dengan bidadari dunia itu.

Kecemasanku bertambah ketika beberapa temanku membicarakan Nia. Tak aneh memang, namun aku melihat keseriusan, bukan sekedar membicarakan gadis berlesung pipi itu seperti biasa.

Aku terima jika ternyata banyak selainku yang menaruh perasaan istimewa terhadap Nia, namun aku tidak terima jika harus keduluan orang lain.

Tapi aku tak tahu harus bagaimana. Minta ibu untuk melamarkan Nia untukku? Ah, mungkin ibu akan bilang, “Mau kau beri makan apa anak orang, Ham? Anak ustadz Zuhri lagi.”

Ya, aku yang sudah dua puluh lima tahun ini masih belum becus mencari ma`isyah. Ijazah SMA-ku kalah bersaing dengan ijazah orang lain yang lebih tinggi karena memiliki sebuah gelar sarjana. Hanya pabrik yang menerimaku sebagai buruh.

Ah, aku ini pungguk merindukan bulan. Nia, gadis impianku itu adalah calon sarjana sain Unpad. Apa aku harus mundur saja?

Tapi aku teringat perkataan ustadz Zuhri yang mengutip hadits Rasulullah, “Empat hal yang harus kau perhatikan jika memilih pendamping, nasabnya, hartanya, parasnya dan agamanya. Maka beruntunglah jika kau memilih yang agamanya baik.”
Ilmu dan amal agamaku memang belum mumpuni. Namun setidaknya aku sedang belajar untuk berislam secara kaffah.

Apakah harus kukatakan pada Nia, agar aku bisa tahu tanggapannya? Bukan mustahil kan, jika dia juga sebenarnya menyukaiku. Ah, mungkinkah?
***
Akhirnya dengan modal nekad dan istikharah yang kulaksanakan tadi malam, pagi ini kuberanikan mengirim SMS pada Nia.

Assalamu`alaykum, Ni…abang ada perlu. Boleh abang ke rumah?

Semenit, dua menit, tiga menit hingga menit ke lima puluh enam SMS-ku baru dibalas. Padahal sebelumnya aku sudah beburuk sangka dan putus asa.

Wa`alaykumussalam wr wb, afwan baru sempat balas, Nia lagi ngetik skripsi, Bang, jadi sok sibuk hehehe…
Oh kalau ada perlu ya silakan ke rumah saja, kan biasanya juga memang begitu ^_^

Pipiku terasa merah, Oh kalau ada perlu ya silakan ke rumah saja, kan biasanya juga memang begitu. Ah, bodohnya orang yang sedang jatuh cinta.

Ok, insyaAllah ba`da zhuhur abang ke rumah ya. Hari ini Nia tidak kemana-mana kan?

Kubalas SMS-nya.
Tak sampai semenit ponselku berbunyi lagi, SMS balasan dari Nia.

Ok. Nggak kok, hari ini free.

Setelah sholat Zhuhur, dengan semangat namun jantung yang lebih dag-dig-dug kulangkahkan kaki menuju rumah ustadz Zuhri, untuk menemui anak sulungnya, Nia.

Kedatanganku disambut oleh hamburan adik-adik Nia yang masih kecil, Dika, Ahsan, Ilma dan Daniel. Mereka berempat adalah anak ustadz Zuhri yang masih belum sekolah.
“Bang Ilham mau ketemu Kak Nia, ya?” Tanya Dika yang paling tua di antara mereka berempat.

“Iya, Kak Nia-nya mana ya?”

“Ada tu, lagi dandan dulu,” jawab Ilma.

Hatiku bungah. Nia dandan dulu untuk menemuiku? Ah, mungkin hanya GR saja. Tapi…aku betul-betul bahagia.

“Dika, ayo ajak adik-adikmu ke belakang,” perintah ibu mereka, istrinya ustadz Zuhri, kami sekampung biasa memanggilnya Ummi.

“Ummi, assalamu`alaykum,” salamku sambil mendekap kedua tangan di dada.

“Wa`alaykumussalam, ayo Nak Ilham masuk, biar Ummi panggilkan Nia dulu ya.”

Aku semakin ke-GR-an saja. Sepertinya semua orang di rumah ini sudah tahu aku akan datang.

“Afwan, lama menunggu,” kata Nia sembari tersenyum, memamerkan lesung di kedua pipinya.

“Ah, nggak lama kok. Afwan ya, Abang ganggu Nia yang lagi ngurusin skripsi.”

“Nggak ganggu, malah senang bisa rehat sebentar. Mumet juga ngetik seharian.”
Nia tertawa kecil.

“Oh ya, Abang sebenarnya ada perlu apa? Sepertinya penting sekali.”

Aku mulai gugup. Kata-kata yang sebelumnya telah kususun pun pudar. Sekarang entah aku harus jawab apa pada Nia.

“Eh, eung…itu,” aku grogi.

“Abang kenapa sih?” tanya Nia sambil tersenyum.

“Eh, aduh susah ngomongnya. Ehm…gini aja deh, boleh Abang minta selembar kertas dan pulpen? Biar Abang tulis saja maksud Abang kemari,” pintaku akhirnya.

Walaupun terlihat heran, tak urung Nia masuk ke kamarnya dan kembali membawa apa yang tadi kupinta.

Aku pun mulai menuliskan isi hatiku di kertas itu.

Nia, sebenarnya Abang punya project dunia-akhirat. Terus terang Abang baru mengungkapkannya sama Nia dan berharap Nia menerima dan mau diajak kerja sama.
Namun sebelumnya Abang mau tanya dulu (afwan agak pribadi).
1. Ada / pernah nggak terpikir oleh Nia untuk membela agama?
2. Apakah selama ini ada ikhwan selain Abang yang mengajak Nia untuk menikah?
3. Jika pertanyaan nomer dua jawabannya “tidak ada”, Nia punya perasaan khususkah ke Abang untuk melangkah ke jenjang rumah tangga?
Abang ingin Nia menjawab dengan jujur. Jazakillah ya, Nia.

Kuserahkan kertas itu kepadanya. Kali ini aku pasrah, apa pun yang terjadi setelah ini walau pahit sekalipun, aku tak akan menyesalinya, setidaknya aku sudah berusaha untuk mendapatkan apa yang kuharapkan.

Kutundukkan kepala. Tak berani melihat wajah Nia yang sedang membaca ungkapan hatiku. Entah bagaimana ekspresinya.

“Ehm…jawabannya nggak perlu sekarang kan, Bang?”

Kuberanikan melihatnya sekilas hanya untuk melihat air mukanya. Ah, Allah…dia tersenyum.

“Eh, eung iya terserah Nia saja. Tapi Abang harap tidak lama-lama.”

Nia mengangguk. Sekali lagi kulihat dia tersenyum. Ah, mungkinkah perasaanku tak bertepuk sebelah tangan? Duh, Gusti…GR-nya diriku ini.
***
Sudah tiga hari setelah usahaku itu, namun Nia tak kunjung memberi jawaban. Kuperhatikan Nia di madrasah bersikap biasa. Tak terlihat beda dari sebelum-sebelumnya. Apa dia lupa?

Pulang kajian malam kuputuskan untuk menanyakan jawaban Nia melalui SMS. Tak tahan rasanya jika seperti ini, serasa digantung, tak ada kepastian.

Ni, afwan Abang SMS malam-malam. Abang mau Tanya, apa Nia udah bisa jawab yang kemarin itu sekarang?

Tak lama kemudian Nia membalas SMS-ku.

1. Tentu. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai muslim membela agamanya.
2. Ada, beberapa orang.
3. Abang tentu tahu nasyid Ed Coustic kan? “Nantikanku Di Batas Waktu”, liriknya itulah jawaban Nia :)

Aku sumringah. Walaupun ini adalah harapanku, namun aku tak mengira akan seindah ini jawaban Nia. Senyum tak lepas dari wajahku.

Segera kuputar nasyid yang Nia maksud, dalam ponselku.

Kalau memang kau pilihkan aku, tunggu sampai aku datang…

Mungkin ini maksud Nia. Jika aku sudah memilihnya untuk menjadi pendamping hidup, maka aku harus menunggunya sampai benar-benar siap untuk berrumah tangga. Ya, bukankah sekarang konsentrasinya adalah menyelesaikan skripsi.
Kubalas SMS-nya.

Jazakillah, Nia. Semoga Allah memudahkan :)

***
Jawaban Nia semalam membuat semangatku berkali-kali meningkat. Kerja, kajian, tilawah dan segala apa yang aku lakukan terasa menyenangkan untuk dikerjakan.

Perasaan yang kupendam sejak lama ini ternyata tak bertepuk sebelah tangan. Aku bahagia.
Keinginan untuk bertemu, telpon atau sekedar mengirim SMS untuk bilang ‘Selamat pagi, Nia’ padanya makin menggebu. Namun kutahan saja karena aku tahu Nia tidak seperti perempuan lain. Nia terlalu suci bagiku. Biarlah keadaan seperti sebelumnya, asalkan kini setidaknya kutahu hati Nia tertuju padaku, begitu pun sebaliknya.

Jika tak sengaja kami bertemu di jalan, Nia pun terlihat begitu biasa saja. Tak terlihat gugup. Aku tak masalah dengan sikapnya itu. Mungkin dia ingin menyembunyikannya dari orang lain, hanya aku, Nia dan Allah yang tahu tentang kami.

Maka aku pun tak pernah menyinggung permasalahan ini. Biar saja, toh hati kami berdua sudah saling terikat kupikir.
***
Enam bulan kemudian aku mendapatkan berita gembira. Perusahaan memberiku beasiswa untuk melanjutkan studiku ke jenjang starta satu di Yogyakarta.

Alhamdulillah, berita ini membuat ibu begitu bahagia.

“Ham, akhirnya cita-citamu nerusin sekolah terkabul. Kamu harus bersyukur sama Gusti Allah. Belajar yang sungguh-sungguh, jangan sia-siakan kesempatan ini, nak.”
Ibuku mengelus lembut kepalaku.

Kuceritakan berita bagus ini kepada Nia lewat SMS.

Alhamdulillah, selamat ya, Bang :)

Hanya itu jawabannya. Nia. Sekarang aku tak akan malu lagi untuk meminangmu. InsyaAllah dalam waktu empat tahun akan ada gelar yang sama denganmu di belakang namaku. Setelah itu aku akan datang memenuhi janjiku dulu.
***
Selama aku di Yogya, ibu tinggal bersama Kak Lintang di Jakarta. Sementara rumah kami kontrakkan untuk beberapa tahun, selama aku tinggal di Yogya.
Di kota gudeg ini, aku tak hanya belajar, namun juga bekerja di anak perusahaan tempatku bekerja di Bandung.

Selain ibu, yang selalu kurindukan adalah Nia. Walaupun komunikasi kami tidak terputus, namun tetap saja aku merindukannya. Rindu melihat rupa tiga dimensinya.

Sampai saat ini, aku dan Nia masih belum membicarakan lagi tentang kami. Selama ini jika saling SMS atau telpon, hanya masalah madrasah yang kami bicarakan. Nia tak memancingku untuk berbicara mengenai proposal dadakanku yang dulu. Aku pun begitu. Biarlah semua mengalir seperti air. Aku berusaha menjaga hatiku untuk Nia, kututup untuk perempuan lain. Yang kuyakin bahwa Nia pun begitu, dia akan menjaga hatinya untukku.
***
Selang tahun keduaku di Yogya, aku mendengar berita yang kurang mengenakkan. Nia akan menikah. Mana mungkin? Aku tak percaya sama sekali.
Untuk meyakinkan diri, kukirim SMS pada Nia.

Ni, afwan abang ganggu. Tanpa ada maksud apa pun, namun abang hanya ingin tahu untuk menenangkan hati. Abang ingin tanya, apa benar berita yang abang dengar sekarang, bahwa Nia akan menikah?

Tiga jam kemudian Nia membalas SMS-ku.

Betul, bang.

Aku terkejut dengan jawaban singkatnya. Ah, mungkin Nia sedang mengujiku saja. Kubalas SMS-nya.

Nia mau nikah dengan siapa? Afwan, apa Nia sudah lupakan abang?

SMS Nia berikutnya begitu menohokku.

Dengan seorang ikhwan yang sudah mengkhitbah Nia dua bulan lalu. Maksud abang apa?

Kubaca SMS-nya berulang kali, berharap tadi aku salah baca. Namun tulisan di SMS itu tak berubah, “Dengan seorang ikhwan yang sudah mengkhitbah Nia dua bulan lalu. Maksud abang apa?”

Nia, apakah kamu sudah benar-benar lupa? Aku menangis, begitu sakit hati ini.

Afwan, Nia, boleh abang telpon sebentar?

Afwan, bang sudah larut. Jika mau telpon besok siang saja.

Malam itu aku tak bisa tidur. Tak habis pikir oleh sikap Nia. Begitu teganya padaku. Padahal aku telah menutup hati ini untuk wanita lain. Karena setelah ibu, Nialah perempuan dalam hatiku.
Esoknya, aku tak sabar untuk menelpon Nia. Beberapa kali kucoba, namun tak diangkatnya. Aku semakin su`uzhan padanya.

Akhirnya ba`da zhuhur telponku diangkat.

“Afwan, Bang, kan Nia udah bilang kalau mau telpon siang aja. Pagi Nia sibuk.”

“Oh, afwan Nia. Abang hanya tak sabar untuk mendengarkan penjelasan dari Nia.”

“Penjelasan apa?”

“Ni, apa Nia udah lupa, bukankah Nia janji akan menungu Abang? Kini kenapa Nia malah mau menikah
dengan ikhwan lain. Padahal terus terang, Ni, Abang selama ini menutup hati untuk akhwat lain, karena hati Abang hanya untuk Nia,” semua yang ingin kuucapkan keluar bagaikan lahar dari gunung merapi.

“Afwan, Nia merasa nggak pernah janji apa pun sama Abang. Kalau masalah yang dua tahun lalu itu, heh…Nia aneh sama Abang, dua tahun, Bang. Apa pantas masih dipermasalahkan?” aku terkejut mendengar penjelasan Nia yang begitu tak bersahabat, apalagi dengan suara yang sepertinya emosi.

“Dua tahun bukan waktu yang sebentar, Bang. Dalam dua tahun ini Abang ke mana saja? Terlalu sibukkah jika kuliah di UGM? Nia kira Abanglah yang sudah lupa.”

“Egois jika Abang bilang kalau Abang menutup hati untuk akhwat lain, lalu mau Abang apa? Nia juga menutup hati juga untuk ikhwan lain, begitu? Apa hak Abang? You are nothing, Abang bukan apa-apa Nia kan?” lanjutnya dengan penuh emosi.

“Ni, Abang menganggap Nia beda dengan akhwat lain. Abang percaya Nia bisa setia tanpa harus diiming-imingi janji. Abang tak ingin dahulu berjanji, Abang ingin memberikan bukti saja, bahwa Abang tak pernah main-main,” belaku dengan suara bergetar menahan marah juga tangis.

“Bang, Nia hanya perempuan biasa, bukan bidadari. Iya betul, Nia memang tidak butuh janji, tapi Nia juga tidak butuh sekedar pengakuan saja. Lalu apa maksud Abang dulu mengajak Nia membela agama dengan cara berrumah tangga? Hanya mengajak? Sungguh Nia hanya perempuan, sama seperti yang lain. Abang harus ngerti, perempuan tak hanya butuh pengakuan tapi juga butuh status yang jelas. Apa Nia untuk Abang? Bukan apa-apa kan? Abang tak pernah bicara pada bapak mengenai ini. Enam bulan pertama bisa Nia maklumi, tapi Bang ini sudah tiga puluh bulan, lebih dari dua tahun. Nia heran, Abang kok bisa masih mempermasalahkan ini,” kata-kata Nia kurasakan seperti pedang yang terus-menerus menusuki hatiku.

“Apa Abang tak pernah berpikir, bahwa dalam waktu yang lumayan lama ini Nia akan diambil orang? Nia lihat Abang cuek, seperti menganggap Nia tak ada. Nia pikir kenapa harus memikirkan yang tak pasti jika ada yang pasti di hadapan Nia. Maka beberapa bulan lalu, seorang ikhwan menemui bapak untuk mengkhitbah Nia. Nia kira beliau lebih serius dari Abang, maka tak lama setelah dapat persetujuan dari Bapak, Nia memutuskan untuk menerima ikhwan tersebut untuk menjadi pendamping Nia. Perlu Abang tahu, bahwa Nia sempat memikirkan Abang. Tapi Abang tak pernah bertindak, ini yang membuat Nia lebih mantap untuk memilih Bang Hanif. Afwan.”

Lagi-lagi aku terkejut. Hanif? Sahabatku sendiri. Kenapa dia tak pernah bilang, bahwa akhwat yang akan dinikahinya adalah Nia. Ah, aku tak berhak marah pada Hanif. Toh dia tak pernah tahu, bahwa Nia adalah akhwat yang kuharapkan. Aku yakin jika Hanif tahu, sahabatku ini tak akan tega melakukan apa yang sekarang dilakukannya padaku.

Aku sudah tak dapat berkat-kata. Siapa yang harus kusalahkan, Nia? Tidak, dia tidak salah. Sebaliknya Nia adalah korban. Aku terdakwanya.

Ya, semua salahku. Nia, maafkan Abang. Belum kulisankan kata hatiku itu, telpon digenggamanku sudah disconnect. (zulfirani)

4 November 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar