Selasa, 11 Januari 2011

Cerpen : Tragedi Kain Baru (Based on My Own True Story hehehe)

“Ran, gimana jadi nggak?” Tanya Maya sambil berbisik, takut ketahuan Bu Eva, dosen Oratoria.

Rani menjawabnya dengan mengangguk lalu ditempelkannya telunjuk kanan ke mulutnya yang sedikit dimonyongkan.

Karena tak puas dengan jawaban sobat kentalnya itu, Maya menuliskan pesan pada sobekan kertas yang ditemukannya di bawah bangku. Sayang kalau harus menyobek buku.

Mana kainnya? Aku udah ngomong ke ibu. Dia bilang buat kamu boleh lah!bls!

Diremas kertas itu lalu dilempar ke arah Rani yang sedang serius memperhatikan Bu Eva. Tepat. Rani membalasnya.

Iya jadi. Semalem aku sampai maksa-maksa Mama supaya beli kainnya nanti siang.

Maya membuat lingkaran dengan jempol dan telunjuk tangan kanannya. Supaya lengkap mata kirinya ditutup laiknya Jaja Mihardja jika sedang membawakan acara kuis, dan selalu berkata ‘Apaan tuh?’.

***

Rani mempercepat langkahnya. Waduh, gawat nich. Mama pasti udah nunggu. Aku yang maksa beli kain sekarang, aku yang telat. Batinnya.

Tes…tes…tes…

Titik-titik hujan mulai turun. Sejak pagi Bandung memang mendung.

Rani berlari sambil memayungi kepalanya dengan tas. Untunglah tasnya itu terbuat dari bahan kulit, jadi selamatlah buku-bukunya.

Akhirnya Rani sampai di apotek. Dia ke sana bukan untuk beli obat, tapi untuk bertemu ibunya. Dengan kata lain mereka sepakat bertemu di apotek terbesar di Bandung itu.

Rani masuk ke apotek. Seperti biasa apotek itu penuh sesak. Kepalanya bergerak, tengok kanan-kiri, depan-belakang. Matanya mengitari ruangan yang penuh dengan orang yang sedang menunggu obat maupun yang sekedar bernaung manunggu hujan reda.

“Ran, di sini!” teriak mamanya sambil melambaikan tangan agak atas.

Rani harus bersusah payah melewati orang-orang.

“Kok telat? Mama udah nunggu dari jam satu.”

“Maaf, Ma. Tadi Rani sholat dulu di kampus. Terus tadi bus yang Rani naiki bannya pecah di jalan. Terpaksa deh Rani nunggu bus yang lain.”

“Kata Mama juga apa, nanti saja hari Jumat. Ini maksa ingin sekarang,” kata mama dengan nada ketus, pura-pura marah.

“Ya maaf, Ma. Rani kan mau jahit di ibunya Maya. Lima hari lagi beliau mau ke Sumedang, ada order dari salah satu sekolah di sana untuk jahit batik. Jadi Rani musti sekarang beli kainnya,” Rani memberi alasan.

“Tuh kan, ibu temanmu itu juga sibuk, sampai harus ke Sumedang. Memangnya ibunya temanmu itu masih menerima jahit baju? Sudah di Bibi Neneng saja.” Masih dengan nada kesal, mama menasihati Rani.

“Memang sebenarnya udah nggak nerima sih, Ma. Tapi karena Rani temen Maya jadi bisa. Rani pengen mencari suasana yang lain, Ma. Dari dulu baju Rani dijahitin sama bi Neneng terus. Siapa tahu baju buatan ibunya Maya pas buat Rani.”

“Ah alasan aja ni bocah.Yok ah.” Ajak Mama.

Rani cemberut. Bocah? Mahasiswa semester tiga disebut bocah?

Pasar Baru Bandung dipenuhi orang yang akan berbelanja kebutuhan masing-masing. Meskipun begitu tidak sepenuh ketika akan lebaran.

“Kamu mau kain warna apa?” tanya mama.

“Terserah Mama aja deh, kan Mama yang bayarin,” jawab Rani sambil tersenyum jahil.

Mata mama mencari-cari kain yang sopan dan pas untuk putri bungsunya. Sesekali meraba kain untuk memastikan bahwa Rani akan nyaman memakainya.

“Yang ini aja ya, Neng?” tanya mama sambil memperlihatkan kain berwarna merah muda.

Rani mengangguk ragu. Ada perasaan tidak enak ketika melihat kain itu.

***

Tas Rani terlihat lebih gemuk. Selain membawa dua tugas makalah, Rani juga membawa kain yang dibelinya kemarin bersama mama. Hari ini akan dia serahkan pada Maya.

“Assalamu`alaykum,” salamnya begitu sampai di depan kelas.

Beberapa temannya yang sudah lebih dulu sampai menjawab salamnya.

“Nih, May, berat banget.” Rani menyerahkan kain keresek berisi kain dan baju untuk contoh.

“Contoh ukurannya nggak lupa kan?” tanya Maya sambil memeriksa keresek.

“Nggak dong.”

Tiba-tiba pak Benyamin, dosen linguistik muncul, berjalan dengan langkah gegasnya.

“Ran, aku simpan kainnya di bawah aja ya, ribet kalau di meja,” kata Maya. Rani mengangguk.

***

Mata kuliah ke dua diliburkan, dosennya tidak masuk karena sakit. Rani, Maya, Ria dan Indah memutuskan untuk menunggu mata kuliah jam ke tiga di pendopo dekat mesjid kampus yang memang menjadi tempat favorit hampir semua mahasiswa di kampusnya.

Udara di mesjid sangat sejuk. Keempat mahasiswi jurusan sastra Arab itu menikmati semilir angin yang mengenai wajah mereka.

“Eh, Ran, jadi modelnya mau kayak gimana? Biar aku gambar,” tanya Maya tiba-tiba.

"Emang kainnya mana?”

Untuk sesaat Maya diam, lalu matanya melotot, “Astaghfirullah, Ran kainnya ketinggalan di kelas linguistik.”

“Apa?”

“Aku lupa nggak ambil pas keluar. Tadi aku simpen di bawah bangku.”

“Udah, sekarang kalian ke sana, siapa tahu masih ada,” saran Ria.

Tanpa berkata apa-apa lagi Maya dan Rani bergegas.

Ya Alloh semoga kainnya masih ada di tempat terakhir Maya simpen. Doa Rani dalam hati.

Sampai di kelas, bangku pertama yang mereka periksa adalah bangku yang tadi diduduki Maya ketika kuliah linguistik.

Tidak ada. Kain itu tidak ada.

“Rani, kita ke bagian logistik, siapa tahu mereka yang ambil,” ajak Maya.

Rani yang sudah pasrah mengangguk. Dia ingat mama, dan tiba-tiba ingin menangis.

“Maaf, Dik. Kelas itu jam pertama dan ke dua ada kuliah berturut-turut, dan kami tidak bertanggungjawab atas kehilangan apa pun, apalagi hilangnya antara jam pertama kedua. Mungkin mahasiswa jam ke dua yang ambil.”

Sungguh mengecewakan jawaban bapak petugas logistik, membuat Rani hampir menangis. Ah, andai aku menuruti nasihat mama, katanya dalam hati.

“Ran, sekarang udah mau masuk jam kuliah ke tiga.” Maya membuyarkan lamunan Rani.

“Aku nggak masuk, May. Aku mau cari kain itu sampai dapat,” tekad Rani.

“Udah, kita masuk aja. Beres kuliah kita buat pengumuman.”

“Nggak, May. Kamu masuk aja, aku akan tanya ke mahasiswa yang masuk jam ke dua di kelas itu. Assalamu`alaykum, doakan, May.” Rani berlari.

Maya hanya mampu melihat punggung sahabatnya itu. Rani memang keras.

Tempat pertama yang ditujunya adalah sekre Rohis.

“Assalamu`alaykum.”

“Wa`alaykumussalam. Eh, Rani. Masuk, Ran,” jawab Vita, temannya yang anggota rohis fakultas itu

“Vit, tadi jam ke dua kamu kuliah di ruang mana?” tanya Rani pada Vita yang kuliah di sastra Inggris.

“Di aula. Memangnya kenapa Ran?”

“Lihat keresek hitam isinya kain warna pink nggak?” bukannya menjawab, Rani malah balik bertanya. Vita menggeleng.

“Tadi yang masuk sastra apa aja selain Inggris?” tanya Rani lagi.

“Indonesia, Sunda sama Sejarah.” Jawab Vita.

“Syukran.” Rani beranjak pergi.

“Hei, Ran tunggu. Memang ada apa sih?”

“Kainku ilang pas aku kuliah partama di aula.”

“Innalillahi, ya udah semoga cepat ketemu. Aku coba nanya-nanya deh sama temenku, nanti aku sms kamu.”

“Ok, makasih, Vit. Assalamu`alaykum.”

Rani mulai mencari teman-temannya yang dari sastra Indonesia, Inggris, Sunda dan Sejarah. Gadis itu cukup mengenal banyak akhwat sastra lain. Terutama yang menjadi anggota rohis fakultas.

Mira temannya yang kuliah di sastra Indonesia tidak tahu dan tidak melihat bungkusan kain yang dimaksud Rani. Begitu pun Diana si mahasiswi sastra Inggris.

Dian dari sastra Sunda dan Meli dari Sejarah juga tidak tahu. Rani mulai putus asa. Akankah ia rela kehilangan kain baru itu? Padahal kain itu adalah hadiah yang dengan susah payah Rani meminta pada mamanya tercinta.

Hape Rani berbunyi, tanda ada sms. Dari Vita.

Ass, Ran, temenku ada yang lihat keresek kamu. Cepet ke sekre rohis!!!

Dengan semangat yang kembali tumbuh, Rani berlari ke sekre.

“Iya, tadi aku lihat. Tapi kayaknya dibawa sama Febri, soalnya memang dia yang lihat pertama,” jelas Lia, teman sekelas Vita.

“Kamu tahu nomor hape Febri?” Tanya Rani.

Lia menggeleng. “Kita beda kelas.”

“Ya udah. Makasih ya semua udah bantuin. Sekarang aku mau dzuhur dulu,” kata Rani dengan nada agak lunglai.

“Hah, ini udah jam setengah tiga, Neng. Kamu baru sholat?” tanya Vita dengan nada marah. Rani cengegesan.

***

Di rumah, Rani sibuk telpon sana sini. Padahal orang orang yang ditelponnya itu belum dikenalnya. Rani terpaksa SKSD pada mereka, demi sehelai kain.

Pertama yang ditelpon adalah Yuri, teman sekelompok waktu ospek. Yuri itu mahasiswa jurusan sastra Inggris.

“Iya, inget dong. Rani yang sekelmpok waktu ospek kan? Lucu ya, kita sekampus tapi jarang ketemu. Apa kabar, Ran?”

“Baik, Yur. Eh, be te we nih…kamu kan sastra Inggris, kenal sama yang namanya Febri nggak?”

“Febri mana nih? Di Inggris ada dua yang namanya Febri. Yang kelas A apa kelas C?”

Duh, kelas mana ya? Batin Rani.

“Nggak tahu deh tuh.”

Terdengar tawa di seberang sana. “Rani…rani, kok malah nggak tahu sih?!”

“Gini loh, Yur…,” Rani menceritakan perihal bungkusannya yang ketinggalan di aula utama.

“Oh, kalo yang tadi kuliah jam kedua di aula sih, kalo nggak salah kelas A. tapi aku nggak punya nomer dia, coz nggak kenal. Kukasih nomer si Iras aja ya, dia temenku di kelas A.”

Lalu Yuri pun menyebutkan dua belas digit angka, Rani menulisnya di secarik kertas.

“Makasih ya, Yur.”

Dengan sigap Rani pun menghubungi Iras. Akhirnya dari Iras, Rani dapat nomer hape Febri.

“Duh, sorry deh. Tadi tu emang aku yang nemuin, terus aku lapor sama ketua angkatan, tahu kan si Iqbal. Nah, bungkusan itu ya dibawa sama Iqbal,” jelas Febri.

Rani lemas. Allah, kenapa? Dalam hati Rani merutuki dirinya sendiri yang mengabaikan nasihat mama. Kalau saja ia tidak memaksa untuk segera membeli kain, mungkin kejadiannya tidak akan memusingkan seperti ini.

Ketika Rani bertanya tentang nomer hape Iqbal, ternyata Febri tidak tahu. Karena Iqbal bukan mahasiswa sastra Inggris, melainkan sastra Indonesia.

Perasaannya masih belum tenang. Namun karena kecapekan akhirnya Rani tertidur.

***

Esok harinya, ketika akan berangkat kuliah ia sangat berharap semoga bisa bertemu dengan Iqbal. Ia tidak tahu apakah hari ini Iqbal ada di kampus atau tidak. Ketika menghubungi Mira setelah shalat shubuh tadi, Mira bilang hari itu ia tidak ada jadwal kuliah. Namun Rani sedikit optimis bisa bertemu Iqbal, karena ikhwan berkacamata itu kan ketua angkatan. Jadi suka sok sibuk datang ke kampus.

“Aduh.” Rani menepuk jidatnya. Ia lupa tidak menanyakan nomer hape Iqbal pada Mira.

Namun sebelum ia kembali menghubungi Mira, tiba-tiba hapenya bergetar. Nomer baru.

“Halo.”

Ternyata dari Iqbal. Entah dari mana ia dapatkan nomer hape Rani. Yang jelas saat ini Rani lega, seperti punya bisul yang kemudian pecah.

Tiba di kampus, Rani tidak langsung menuju kelas. Kakinya melangkah ke student centre Sastra Indonesia. Di sana Iqbal telah menunggunya.

“Terima kasih ya sudah menjaga barangku.”

“Sama-sama. Lain kali hati-hati, ukhti. Untung cuma kain, coba kalo barang penting.”

Gadis berjilbab jingga itu tersenyum kecut. Kain ini juga barang penting tauuu?!! Teriaknya dalam hati.

Ia memang sangat berterima kasih pada Iqbal. Namun perkataannya yang seolah menyebutkan bahwa kainnya itu bukan barang penting, Rani agak sedikit ilfil. Plis deh, kalau memang bukan barang penting, buat apa ia hambur-hamburkan pulsanya untuk menghubungi banyak orang demi mendapatkan sehelai kain baru.

Setelah basa-basi sebentar, Rani membalikkan tubuhnya. Siap masuk kelas untuk mengikuti kuliah Pak Tajuddin. Kali ini bungkusan kain barunya itu tetap disimpan di ranselnya. Tak ingin kejadian sama terulang.





(pertama ditulis tahun 2006, diselesaikan tanggal 9 Februari 2010…artinya 4 tahun bikin cerpen ini hehehe biasa kehilangan arah dan kena virus malas juga huhuhuhu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar