Selasa, 11 Januari 2011

Yang Tak Tersentuh

“Ya sudah, sabar dulu.”
“Kalau Neng menuruti nafsu mah, pengen banget ngejual rumahnya Kang Haris yang di perumahan melati. Tapi Neng gak tega juga, Bu, sama anak anaknya Kang Haris. Kalau diajak tinggal di kontrakan Neng. Mana cukup buat enam orang. Tapi gemes banget sama si Sumi, ngeganggu terus. Gak tahan sebenarnya, Bu.”
“Iya, Ibu ngerti. Orang kayak Sumi itu didiemin aja, anjing menggonggong kafilah berlalu. Gak usah diladeni. Dia kayak gitu itu ya mau bikin kamu kesel.”
Pembicaraanku dengan anak sulungku dalam telepon diakhiri dengan jawaban salam Neng yang pelan. Mungkin sebenarnya masih banyak yang ingin ia adukan padaku. Tapi pagi menjelang siang begini toko sedang ramai ramainya. Kasihan Nur yang harus melayani para pembeli sendirian.
Toko ini peninggalan almarhum suamiku yang meninggal tujuh tahun lalu.
“Teteh kenapa lagi, Bu?”
“Ya biasalah, masalah Sumi.”
Nur tersenyum paham.
“Nur shalat dulu ya, Bu.”
Aku mengangguk.
Ketiga anakku sudah dewasa. Namun tak berarti berkurang rasa cemasku akan kehidupan mereka. Apalagi Neng. Anak pertamaku ini sudah tiga kali menikah. Dua sebelumnya berakhir di meja hijau. Neng diceraikan oleh kedua suami sebelumnya karena sudah beberapa tahun menikah, namun masih belum dikaruniai anak. Sekarang ini ia sedang menjalani rumah tangga dengan suami ketiganya yang seorang duda beranak empat.
Haris menceraikan istri pertamanya karena ketahuan selingkuh. Mantan istrinya itu, Sumi masih tinggal di rumah yang dulu mereka beli bersama keempat anak mereka. sedangkan Haris tinggal di kontrakan kecil bersama Neng, anakku.
Tahu Haris telah menikah lagi, Sumi jadi sering meneror Neng. Kasihan juga anakku itu.
Sementara Dayat, anak laki lakiku satu satunya baru saja putus dari kekasihnya dengan alasan yang tak kuketahui. Anak keduaku ini memang sangat tertutup. Dia baru akan berterus terang jika memang sudah menginjak masalah yang tidak ringan dan tak bisa diatasi sendiri..
Lalu Nur si bungsu yang menemaniku berniaga di pasar. Tak banyak cerita tentangnya. Dia tegar, jarang mengeluh, jarang mencurahkan isi hatinya padaku. Dia lebih senang menulis. Tulisan tulisannya pernah dimuat di beberapa media.
Setiap hari gamis, kerudung dan kaos kakinya selalu kotor oleh noda beceknya tanah pasar juga bekas kepulan tepung yang dibungkusinya menjadi kiloan yang lebih kecil.
Terkadang, aku khawatir juga pada Nur. Umur dua enam belum ada laki laki yang datang memintanya, padahal dulu kakaknya menikah pertama kali ketika masih berumur sembilan belas.
Namun sekali lagi, dia tegar, terlampau kupikir. Memupus kekhawatiranku akannya.
rzrzrz
“Mmm…Bu…,” seperti yang ragu Nur mulai bicara.
“Iya.”
“Gimana kalau Nur yang duluan nikah daripada Kang Dayat?”
Aku terkejut dengan perkataan Nur ini. Ini pertama kalinya dia bercerita tentang pernikahan. Karena sebelumnya jika sudah menyinggung masalah satu ini, Nur menanggapi hanya dengan senyuman.
“Alhamdulillah,” kataku. Dia tersenyum, seperti biasa.
“Sebenarnya beberapa minggu lalu Nur dikenalkan dengan seorang ikhwan oleh Teh Nda. Ternyata beliau tertarik sama Nur dan…”
Kalimat Nur terhenti tatkala ponselku berdering.
“Si teteh,” kataku pada Nur. Dia kembali hanya tersenyum dan beranjak pergi untuk membereskan barang dagangan yang tadi belum sempat kuurus.
“Bu, apa Neng minta cerai aja gitu ke Kang Haris. Neng udah gak tahan, Bu sama gangguan Sumi…”
Kudengarkan keluhan Neng. Makin miris saja hatiku memikirkan nasibnya yang malang itu. Andaikan bisa, biar aku saja yang merasakan pahitnya hidup, jangan anak anakku.
Aku hanya bisa bilang sabar padanya. Sambil sesekali mengiyakan segala perkataannya tentang Sumi edan lah, Sumi gak punya hati lah dan yang lain lainnya.
Dan yang terakhir kupesankan padanya, “Neng, jangan sampai minta cerai sama Haris. Ibu gak mau Neng menjanda lagi. Pertahankan rumah tangga Neng kali ini. Ibu yakin Haris itu akan menjaga Neng untuk Ibu. Sekarang pokoknya jangan pedulikan Sumi. Ya, Neng?!”
Ku-reject ponselku setelah Neng menjawab salamku. Rabb, tolonglah putriku.
“Kasihan tetehmu itu.”
“Kenapa lagi, Bu?”
“Ya biasalah si Sumi.”
“Memangnya kang Haris gak bertindak apa apa gitu?”
Aku mengangkat bahu. Sebenarnya itu yang ingin kuketahui. Apa Haris tidak bertindak apa apa?
Dari cerita Neng setiap kali nelepon, sepertinya tak ada pembelaan dari suaminya itu terhadap rongrongan Sumi. Ah, entahlah. Ya Rabb, hanya Engkau Yang Maha Penolong.
Setiap habis shalat kudo`akan setiap anak anakku. Yang pasti kali ini do`aku untuk Neng yang paling kencang. Karena kupikir dia yang sedang banyak masalah. Dia butuh dido`kan.
rzrzrz
“Bu…”
Seperti biasa, Nur seperti selalu ragu untuk memulai bicara padaku.
“Iya, Nur?”
“Mmm…insya Allah, besok kang Cepi mau ke rumah, silaturahim.”
Aku tersenyum dan mengangguk.
Cepi, seorang ikhwan yang dikenalkan Nda, keponakanku, kepada Nur. Hanya sedikit yang kutahu tentang ikhwan ini. Karena Nur tak banyak cerita.
“Ya sudah, dari sekarang kamu persiapkan untuk jamuannya. Sama siapa datangnya?”
“Sendiri, Bu. Cuma silaturahim aja. Katanya ingin ketemu Ibu dan Kang Dayat.”
Aku mengangguk lagi. Nur kembali konsentrasi pada kerjaanya membungkusi tepung terigu yang seperti biasa, kepulannya mulai mengotori gamis anak bungsuku itu. Aku bersyukur, Nur bukan gadis yang tinggi gengsinya. Walaupun penampilannya selalu terlihat kumel disbanding teman temannya yang bekerja di kantoran, Nur tak pernah mengeluh tentang hal itu. “Inilah Nur, Bu,” katanya menanggapi pertanyaanku tentang penampilannya yang berbeda dengan teman temannya.
“Assalamu`alaykum…”
“Wa`alaykumussalam…, Neng? Kok ada di sini? Mana Haris?”
Neng datang tiba tiba tanpa memberi tahuku sebelumnya. Dia memelukku dan menangis, “Neng bener bener udah gak tahan, Bu.”
“Tenang dulu, tenang dulu. Nur ambilkan minum untuk tetehmu,” kataku pada Nur. Dia bergegas mengambil air kemasan gelas dari etalase.
Setelah minum Neng menghela nafas, “Sumi udah bener bener keterlaluan, Bu. Kang Haris bukannya belain Neng, malah Neng dimarahinya huhuhu.”
“Katanya kang Haris, Neng harus ngerti kenapa Sumi selalu menghubunginya. Itu karena untuk meminta biaya anak anaknya kang Haris. Neng sih sebenarnya gak apa apa, Bu. Neng ngerti kang Haris punya tanggung jawab dua, Neng yang istrinya dan anak anaknya. Tapi kenapa Sumi yang sepertinya ngotot minta kang Haris lebih memperhatikan anak anaknya? Bukankah sudah ada dia untuk mengurus anak anak, kang Haris tugas utamanya hanya menafkahi. Lalu Neng dianggap gak ada apa?”
Kudengarkan cerita Neng sambil sesekali megelus kepalanya. Hatiku sakit melihat air mata anakku yang terus mengalir menganak sungai.
“Ibu ngerti, Neng. Tapi Ibu kurang setuju kalau Neng pergi dari rumah tanpa izin Haris. Nusyuz itu namanya. Dosa besar,” nasihatku.
“Tapi Neng bener bener gak tahan, Bu.”
“Iya, Ibu ngerti. Tapi coba kalian bicarakan baik baik dulu. Dulu sebelum menikah dengan Haris kan Neng bersedia menanggung resiko, bahwa Haris gak akan bisa sepenuhnya memberikan perhatiannya buat Neng. Dari awal Neng udah menyanggupi jadi seorang ibu tiri.”
Anakku mengangguk angguk sambil tetap menangis.
“Sabar ya, Teh. Insya Allah ada hikmahnya,” hibur Nur pada kakak perempuannya itu.
Sore harinya menantuku datang untuk menjemput istrinya. Tak lupa dia minta maaf atas kejadian ini.
“Tak apa, Ris. Tapi Ibu mohon untuk ke depannya Haris lebih memperhatikan Neng.”
Ia pun berjanji untuk berusaha lebih adil membagi kasih sayang pada istri dan anak anaknya yang sekarang tinggal bersama ibu kandung mereka.
rzrzrz
“Akang sih gak masalah kalau Nur mau ngelangkahin Akang. Yang akang lihat tadi itu sepertinya Cepi memang orang yang baik,” komentar Dayat setelah beberapa waktu lalu Cepi menjadi tamu kami.
Kulihat senyum tak putus dari wajah Nur. Aku bahagia melihatnya. Ah, aku bersyukur atas kebahagiaan yang dirasakan Nur. Semoga nasib tetehnya tidak menimpa Nur.
“Ibu sendiri bagaimana?” tanyanya.
Aku tersenyum, “Ibu setuju sama akangmu, Nur. Kalau dirasa baik, insya Allah Ibu terima Cepi sebagai menantu”
Nur tersenyum lagi. Wajahnya yang putih bersemu merah.
rzrzrz
Ternyata kejadian beberapa hari lalu, tak membuat Neng berhenti selalu mengeluh tentang masalah yang sama padaku di telepon.
Aku jadi heran sendiri, kok ada orang kayak Sumi itu. Sudah ketahuan selingkuh ketika masih menikah dengan Haris, sekarang setelah diceraikan masih tak tahu malu selalu menampakkan wajah di hadapan mantan suaminya yang telah beristri..
Seperti Neng yang tak bosan mengelukan hal yang itu itu lagi, aku pun tak bosan menasihatinya untuk bersabar.
Setelah pembicaraanku dengan Neng berakhir, sekilas kuperhatikan mata Nur sembab. Mulai tadi pagi wajahnya terlihat murung.
Baru mau kutanyakan apa yang terjadi dengannya, ada pembeli datang. Segera kulayani kebutuhannya. Membuatku lupa untuk bertanya pada Nur tentang mata sembabnya.
Malamnya Neng kembali menelepon. Lagi lagi hal yang sama yang diceritaknnya. Tapi aku tak akan pernah bosan mendengarkan keluh kesah anakku. Saat itulah hatiku berdo`a pada Allah agar hidup Neng dimudahkan, dibebaskan dari gangguan Sumi.
Pada sepertiga malam tadi tak kudengar gemercik air yang biasa terdengar tatkala Nur berwudhu. Mungkin dia sedang haid, jadi tidak wudhu untuk qiyamul lail malam itu. Aku pun tak berinisiatif untuk membangunkannya.
Ba`da shubuh, seperti biasa aku ke kamar Nur untuk menyerahkan daftar barang yang sudah habis stoknya di toko kami. Sebelum membuka toko, Nur akan membelinya dulu di toko grosir.
Ketika kubuka pintu kamarnya, aku terkejut melihat Nur yang masih tidur. Biasanya Nur sudah siap siap pergi ke pasar duluan untuk membeli barang yang harus dibeli.
Mungkin dia kelelahan hingga tertidur sangat pulas.
“Nur, bangun udah shubuh.”
Nur belum bangun juga. Lalu kugoyangkan badannya. Nur masih belum bangun. Tiba tiba aku jadi panik, prasangka buruk menguasaiku.
Kusentuh kulit wajahnya dengan punggung tanganku. Nur demam tinggi.
“Dayat…Yat!” teriakku.
Dengan tergopoh Dayat datang ke kamar Nur.
“Adikmu ini kenapa, Yat? Panasnya tinggi, Ibu bangunkan tapi si Nur gak mau bangun,” kataku cemas.
“Kita bawa ke dokter aja, Bu. Sebentar Dayat ganti baju dulu,” katanya sambil pergi ke kamarnya.
Setelah diperiksa dokter, ternyata Nur harus dirawat di rumah sakit. Dia kehilangan banyak cairan, harus diinfus.
Sore hari Nur siuman, “Bu, Nur kok ada di sini?”
“Iya, tadi pagi Nur pingsan. Nur demam tinggi, Ibu dan kang Dayat bawa ke dokter ternyata Nur harus di rawat,” jelasku.
“Tapi Nur gak apa apa kok, Bu. Kita minta pulang aja sekarang ya, Bu.”
“Eh, sudah sudah Nur istirahat aja ya.”
Nur pun menuruti perintahku.
“Setelah saya periksa, dek Nur ini punya penyakit mag yang sudah sangat parah,” kata dokter.
Aku yang sudah lama hidup bersama Nur tentu saja kaget dengan penjelasan dokter tadi. Mag yang sudah sangat parah? Bagaimana mungkin? Selama ini Nur tidak pernah sakit parah, juga setahuku Nur tak pernah telat makan. Hanya shaum Daud yang istiqamah dijalankannya. Apa itu penyebabnya? Ah mustahil, masak ibadah menyebabkannya seperti ini?
“Nur memang sudah tak makan apa apa selama empat hari ini,” akunya. Aku benar benar kaget mendengat pengakuan Nur.
“Kenapa? Kok Nur melakukan yang seperti itu?” dalam hati kusesalkan kenapa tak dari awal kusadari bahwa Nur tak makan selama beberapa hari. Aku menyesal karena telah kurang perhatian pada bungsuku ini.
Bukannya menjawab, Nur malah menutup muka. Dia menangis.
Nda yang ada di sampingku menggamit tanganku, mengajakku ke luar.
“Nda rasa mungkin Nur kecewa, Ua.”
Aku tak mengerti apa yang dikatakan Nda.
“Memang Nur gak cerita ke Ua, kalau ternyata Cepi telah dijodohkan oleh orang tuanya dengan gadis lain?”
Aku kaget mendengar penjelasan Nda, “Nur gak cerita ke Ua.”
“Sebenarnya Cepi udah milih Nur. Tapi ibunya sampai mengancam mau bunuh diri segala kalau Cepi gak nikah sama gadis pilihan orang tuanya. Dengan sangat terpaksa Cepi memutuskan Nur. Mungkin ini yang membuat Nur begini.”
Astaghfirullah…kenapa Nur tidak cerita padaku?
Aku kembali ke kamar tempat Nur di rawat. Kutanyakan hal yang baru saja kudengar dari Nda.
“Kenapa Nur gak bilang ke Ibu?”
Nur menggigit bibirnya.
“Ibu gak ada waktu buat Nur.”
Aku heran dengan jawaban anak bungsuku ini, “Gak ada waktu bagaimana? Ibu kan selalu ada di dekat Nur?”
“Iya, Ibu memang ada di dekat Nur, tapi pikiran Ibu jauh, ada bersama teh Neng. Setiap Nur mau cerita, Ibu selalu memprioritaskan teh Neng. Nur sih gak apa apa, tapi kadang Nur juga butuh Ibu.”
Aku tertegun. Andaikan kata kata Nur ini sebuah tembakan, maka tembakan itu telah tepat mengenai jantungku. Ternyata tanpa kusadari telah melakukan kesalahan.
Kuusap kepalanya. Tak menyangka akan mendapat serangan kata kata seperti itu dari Nur yang pendiam.
“Bu, anak Ibu bukan hanya teh Neng kan?”
Hatiku tersayat mendengar pertanyaan retoris Nur.
Ah, aku…kemana dirimu ketika anakmu ini membutuhkanmu? Aku menangis.
“Maafkan Ibu ya, Nur. Ibu gak bermaksud pilih kasih. Tapi Ibu lihat Nur lebih tegar dari tetehmu. Nur lihat kan, sedikit sedikit teteh selalu mengadu. Sedangkan Nur beda. Nur kuat.”
“Tapi gak berarti kalau Nur gak butuh Ibu.”
Tak dapat kubela diri lagi mendengar jawabannya itu.
“Bukan hanya teh Neng yang punya masalah berat, Bu. Nur juga punya. Begitu sakit hati Nur ketika kang Cepi ninggalin Nur. Nur pengen curhat ke Ibu, tapi Nur lihat Ibu selalu sibuk dengan masalah teh Neng. Nur jadi ragu untuk bercerita. Takut menambah beban pikiran Ibu.”
Kupeluk Nur, “Maafkan Ibu yang gak ngerti. Memang seharusnya Ibu bisa paham dari gelagat Nur kemarin kemarin yang tidak seceria biasa. Teh Neng, kang Dayat dan Nur adalah permata permata berharga Ibu. Ibu tak akan pernah merasa dibebani jika kalian semua cerita tentang masalah masing masing. Lain kali Nur cerita ya, biar Ibu bisa bantu cari solusinya.”
“Masalah Cepi, ya insya Allah ada pengganti yang lebih baik untuk Nur. Ibu do`akan Nur selalu bahagia dunia akhirat.”
Rabb, Engkau telah berjanji akan mengabulkan do`a seorang ibu. Kini, hamba mohon kabulkan do`a hamba. Do`a yang jadi penebus rasa bersalahku terhadap keadaan Nur yang selama ini tak tersentuh oleh tangan hatiku. [zulfirani] 5/12/09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar