Selasa, 11 Januari 2011

Tentang Beliau, Bapakku

Bapak…

Seorang pria yang darahnya mengisi sebagian tubuhku itu bernama lengkap Mochammad Mansyur. Namun, beliau pasti menoleh jika nama kecilnya yang disebut, Maman.

Di hari ke-empat belas sepeninggal beliau ini, aku menangis lagi. Tangisan penyesalan yang mungkin tiada guna. Namun luapan emosi yang mewakili suara hati anak bungsunya ini karena kerinduan yang amat sangat.

Benar apa yang dikatakan pepatah, sesuatu akan terasa jika sudah tak ada.

Ketika tangan ini masih berkesempatan menggenggam tangannya, ketika hidung dan mulut ini masih berkesempatan mencium punggung tangannya, ketika mata ini masih berkesempatan untuk memandang tubuhnya yang meringkih, kulitnya yang mengeriput, matanya yang menyendu…oh…aku sadar tak akan bisa sepeti itu lagi. Mungkin bisa…entah Alloh memberi kesempatan atau tidak bertemu dengan setengah tubuhku itu?

Bapak…, begitu aku memanggilnya.

Lelaki itu tetap setia untuk hanya menjadi bapak dari kami, tidak menjadi suami seorang ibu tiri setelah hampir dua belas tahun berpisah dengan perempuan yang pernah ia nikahi 39 tahun lalu.

Bapak…

Lelaki tangguh itu yang merawat ibunya yang sudah sepuh. Bapak rela berjauhan dengan kami bertiga, namun tak rela berjauhan dengan wanita agung yang pernah berjuang mati-matian melahirkannya ke dunia.

Bapak…

Lelaki kurus itu tak pernah marah padaku, padahal sering mungkin hatinya kubuat perih.

Sekali seumur hidup beliau marah padaku…ketika itu aku baru kelas tiga SD. Bangun tidur aku langsung ingat ada PR yang belum kukerjakan, padahal hari itu aku masuk pagi. Dengan gesa kubuat berantakan meja belajar untuk mencari buku PR. Bapak sedang nonton berita. “Nim, lihat ada berita mengejutkan!”

Karena perasaan sedang galau kujawab dengan agak membentak. Mungkin beliau kaget dengan jawabanku yang tidak sopan. Secara spontan bapak mengarahkan bantal padaku. Buk!!! Bantal itu mengenai wajahku.

Sekarang aku yang terkejut. Bapak yang tidak pernah kasar padaku, saat itu begitu kasarnya. Hatiku sakit ketika itu. Bapak tega, kataku dalam hati.

Dan ternyata setelah hari itu, bapak tak pernah kasar dan marah lagi padaku. Sebaliknya, aku yang sering menyakiti hatinya (astaghfirulloh…).

Bapak…

Yang selalu mendukung langkahku. Beliau ingin aku sukses dunia-akhirat. SMS motivasi yang selalu beliau kirim ke hapeku. Kadang aku merasa kesal dengan isi SMSnya yang menurutku selalu menyindir kecuekanku pada dirinya. Ah…betapa menyesalnya diri ini Ya Rabb…

“Bapak ingin Onim yang beli baju takwa buat bapak lebaran ini,” katanya ketika Ramadhan dua tahun lalu.

Kala itu aku sempat bingung dengan ukuran baju bapak. Ironis, seorang anak tidak tahu ukuran baju bapak kandungnya sendiri.

Sejak berpisah dengan mamah, walaupun tak hilang kontak dengan bapak, kami bertiga memang serasa asing dengan ke-privacy-an beliau. Ah…ini merupakan penyesalanku yang lain…Rabb…ighfir li abiy…

Bapak…

Cita-citamu tercapai…,

“Nim, bapak kalau meninggal ingin seperti Rosululloh, 63 tahun.”

“Nim, kalau meninggal nanti bapak ingin dalam keadaan fakir.”

Ya…enam puluh tiga tahun kesempatannya bernafas di dunia.

Tak ada barang mewah yang diwariskannya. Yang kusyukuri…baju jenazah yang belaiu kenakan, dibeli dengan uang beliau sendiri. Beliau meninggal dalam keadan fkir, tpi tidk miskin.

Bapak meninggal tanggal 26 Robi’ul akhir 1431 H (11 April 2010) hari ahad. Insya Alloh husnul khotimah.

Pagi itu…03.00, aku bangun untuk mengerjakan tugas rutin, menyetrika baju keluarga. Baju bapak yang kugosok pertama. Tiba-tiba hapeku berbunyi menandakan ada pesan masuk. Aku sempat heran, kok pagi buta begini ada yang SMS. Ternyata Abet, suami almarhumah bibiku.

Yang Abet kirim adalah SMS forward dari Wa Maman Siroj. Isi pesannya memberitahukan bahwa bapak dalam keadaan kritis.

Selesai menyetrika baju bapak, aku langsung mengambil air wudlu utnuk sholat tahajud dulu sebelum pergi ke rumah Wa Aam (bapak tinggal di sana setelah rumah aki-nini dijual).

Saat akan membaca al-fatihah di roka`at kedua, kudengar dari luar kamar. Seketika kubatalkan sholatku, dan menangis sambil memanggil bapak yang ternyata telah pergi tanpa sempat aku meminta ampunannya. Bapak meninggal.

Pertama kulihat jasadnya yng telah tertutup sorban kesayangannya, tak kuasa kutahan air mata pilu. Walaupun kutahu…beliau tak akan menjawab panggilanku, kata ‘bapak’ selalu kusebut.

Kubuka sorban yang menutupi wajahnya. Kuraba kulitnya, hangat. Hatiku sedikit lega, “Bapak lagi becanda kan?!” kataku dalam hati. Memang bapak selalu senang mencandai kami bertiga. Kupikir, mungkin kali ini pun bapak hanya bercanda.

Kucium pipinya. Baru kurasakan dingin. Bapak memang sedang tidak bercanda. Ini kenyataan…bapak meninggal.

Aku tak pernah bertanya mengapa Alloh tak memberiku kesempatan untuk bertemu dengan bapak sebelum bapak meninggal…padahal terakhir bertemu dengannya itu tanggal 4 April, seminggu sebelum nyawanya benar-benar dicabut.

Tidak. Aku memang tak perlu bertanya kenapa? Karena memang tak ada karena.

Aku yakin ini yang terbaik. Alloh pasti ingin aku mengambil ibroh dari semua ini. Ya…separuh tubuhku masih ada di dekatku, mamah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar