Selasa, 11 Januari 2011

Ku Akan Menjagamu

Ku akan menjagamu
Di bangun dan tidurmu
Di setiap mimpi dan jagamu…

Lagu itu begitu merdu kudengar. Bukan, bukan karena band Wali yang menyanyikan, melainkan Elsa, anak bungsuku yang dua bulan lagi akan menjadi seorang kakak.
Setiap pulang sekolah, Elsa menghamburiku, mencium kedua pipiku, dahiku, dan terakhir perut buncitku, lalu dia akan berdendang,
Ku akan menjagamu
Di bangun dan tidurmu
Di setiap mimpi dan jagamu…

Kuusap kepalanya sambil menahan gumpalan air yang siap tumpah ruah dari mataku. Tidak, Elsa tak boleh tahu kalau ibunya sedang menahan tangis. Aku tak siap menjawab jika gadis kecilku ini bertanya, "Ibu, kenapa nangis?"
Allah…kuatkan hamba.
"Bu, Elsa mau adik laki laki," suara cemprengnya membuyarkanku.
"Kenapa mau laki laki?"
"Biar bapak ada teman, kan kak Farhan jauh."
Farhan, anak keduaku memang tak sedang ada di sini. Anak laki lakiku itu sedang menimba ilmu di pesantren Darussalam, Gontor.
"Berdo'a ya sama Allah, Elsa kan anak baik, Allah pasti mengabulkan do'a Elsa," kataku sembari mencubit pipinya yang gembil.

Air mataku tumpah juga. Kuusahakan agar tak bersuara. Suami dan anak anakku tak boleh tahu aku menangis.
Kuusap perutku. Di sana ada seorang makhluk kecil yang belum mengerti apa apa. Anakku, anak ke-limaku.

"Positif?" suamiku terbelalak setelah kuberi tahu, bahwa aku hamil lagi.
"Mas gak seneng?"
Suamiku menatapku lekat lekat. Kedua tangannya memegang pundakku.
"Lis, sungguh bukannya aku gak senang, tapi…" suamiku menggantungkan kalimatnya.
Namun begitu aku mengerti. Suamiku bukanlah penghasil uang melimpah. Sejak pertama kali berrumah tangga, kami diamanahi sebuah kios kecil oleh mertuaku. Dengan kata lain kios itu bukan mutlak milik kami, masih ada mertua dan adik adik iparku yang juga berhak atas kios kecil itu. Walaupun sekarang ini mereka tak butuh, karena adik adik dari suamiku telah mapan dengan usaha masing masing. Mereka pun tak menuntut hak apa apa.
Usaha kami kurang berkembang. Dapat dimaklumi, saat ini musim krisis. Para karyawan yang kena PHK beralih profesi jadi pedagang. Kompetitor kami makin banyak, ditambah mereka punya lebih banyak modal. Setidaknya itu yang aku rasakan.
Belum lagi kami harus memberi makan dan menyekolahkan keempat buah hati kami, Elis, Farhan, Fani dan Elsa.
Elis, anak pertamaku menderita autis. Kini usianya delapan belas tahun. Dia tidak sekolah, hanya ikut ngaji di madrasah dekat rumah.
Masih terbayang dalam benakku ketika tahu anak pertama kami menderita autis. Kami, aku dan suamiku masih sangat belia waktu itu, harus menerima kenyataan, bahwa anak pertama kami menderita autis. Betapa Mahabaiknya Allah karena memberi ibu mertua yang sangat pengertian dan bijaksana. Beliaulah yang membantu kami mendidik Elis hingga akhirnya dapat berkomunikasi secara normal.
Anak keduaku, Farhan adalah anak yang pendiam. Saking pendiamnya, hingga dia tak pernah mengeluh tentang rasa sakitnya. Setahun lalu baru kami mengetahui, bahwa Farhan sakit sinusitis, dia harus segera dioperasi. Beruntung, karena adik iparku yang ke-tiga, Deli membantu biaya pengobatan Farhan. Biaya pesantren Farhan pun Deli-lah yang tanggung. Deli dan istrinya belum dikaruniai anak, maka dia berikan kasih sayangnya pada anak anak kami.
Sedangkan Fani, anakku nomer tiga kini duduk di bangku SMP kelas dua. Dan Elsa, si bungsu baru masuk TK.
Apa salahnya punya anak lagi? Toh Allah menciptakan makhluknya beserta rizkinya, protesku dalam hati.
"Lalu bagaimana?" tanyaku, apa kau akan menyuruhku menggugurkannya? geramku dalam hati.
Hm…Suamiku mendesah.
"Ya apa boleh buat, kamu sudah terlanjur hamil," katanya sambil berlalu, entah ke mana.
Oh Allah…bukakanlah pintu hikmah-Mu.

"Bu, kalau nanti adik Elsa memang laki laki, namanya Yusuf ya, Bu, biar cakep kayak nabi Yusuf," kata Elsa setelah seperti biasa mengelus perutku.
"Hmm…Yusuf nama yang bagus. Pasti dia senang karena kakaknya yang cantik inilah yang memberinya nama yang bagus."
Elsa memperlihatkan giginya yang ompong. Dia kembali berdendang,
Ku akan menjagamu
Di bangun dan tidurmu
Di setiap mimpi dan jagamu…
Elsa, betapa ibu tak tega memberi tahumu, bahwa kamu tak akan bisa menjaga Yusuf-mu.

"Coba pikirkan keluargamu, Listy. Apa sanggup memberi makan lima anak, apalagi Farhan, Fani dan Elsa masih sekolah. Pikirkan juga kebaikan kebaikan yang sudah kamu dapat dari Deli," bapak mertuaku menasihati.
"Tapi, Pak, bayi ini anak kami," belaku.
"Iya, betul dia anak kalian. Justru kamu harus membuktukan kasih sayangmu dengan mempercayakan pengurusan anakmu pada Deli dan istrinya. Di sana dia pasti akan lebih terjamin."
Aku hanya bisa diam. Sedangkan suamiku seperti serba salah. Di satu pihak dia pasti mengerti perasaanku, namun di pihak lain mungkin dia ingin membalas budi pada adiknya.
"Masih banyak waktu. Pikirkan baik baik," lanjut beliau, menepuk nepuk pundakku lalu pergi.

Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Tak kupungkiri, adik iparku dan istrinya itu sudah sangat membantu keluarga kami. Aku juga ingin membalas budi, namun apa dengan menyerahkan bayiku pada Deli dan Risma?
"Kalau aku terserah kamu, Lis. Tapi apa kamu tega sama Deli, kasihan dia sudah sangat lama mendambakan anak," kata suamiku.
Hm…terserah bersyarat.
"Deli juga gak maksa kok. Niatnya hanya ingin meringankan kita," imbuhnya.
Aku termenung. Teringat ketika kandunganku baru enam minggu, Deli dan istrinya datang.
"Kak, kami tidak meminta bayi pada Kakak. Kami hanya menawarkan diri untuk mengurus anak Kakak,"
Aku tersinggung dan marah. Namun tak bisa kunyatakan pada seorang Deli yang telah banyak membantu meringankan beban rumah tangga kami.
"Kakak akan pikirkan lagi ya," kataku.

Akhirnya aku mengangguk setuju. Terpaksa sebenarnya, karena ditekan oleh Deli, mertua dan suamiku. Ditambah kebaikan kebaikan Deli. Ya, mungkin memang sekarang saatnya aku membalas budi mereka berdua.
"Tapi dengan syarat anak ini harus tahu, bahwa saya dan Mas Jalil adalah orang tua kandungnya."
"Tentu, Kak," kata Deli sumringah.
"Anak ini memang berhak tahu siapa orang tua kandungnya. Kakak tak usah risau, aku dan Risma akan mengurus dan mendidiknya menjadi anak yang sholeh," janjinya.
Aku mengulum senyum.
"Maaf, saya mau ke dalam."
Di kamar air mataku tumpah ruah. Ada sedikit sesal. Namun apa daya, semua kulakukan demi kebaikan keluarga besar kami. Toh yang nanti akan menjaga dan mengurus anak kami bukanlah orang lain.

Kuusap perutku dengan sayang,
Ku akan menjagamu
Di bangun dan tidurmu
Di setiap mimpi dan jagamu…

Terngiang lagu yang selalu Elsa dendangkan ketika mengelus perutku. Elsa, Yusuf akan pergi. Tangisku makin membuncah.

Sehari Yusuf lahir, Elsa tak mau jauh darinya. Seolah menepati janji,
Ku akan menjagamu
Di bangun dan tidurmu
Di setiap mimpi dan jagamu…

Dia benar benar menjaga adik kecilnya.
Aku mesih belum berani mengatakan padanya, bahwa tiga hari lagi Yusuf akan di bawa oleh om Deli dan tante risma ke Bekasi.
Anak anakku yang lain telah kuberi tahu.
"Kalau itu memang yang terbaik menurut Ibu dan Bapak, kami rela adik kami di bawa oleh om Deli dan tante Risma," kata Farhan sambil menggenggam tanganku.
Kupeluk mereka bertiga. Oh permata permata hatiku.

"Bu, Yusuf mau pergi ya?" tanya Elsa membuatku terkejut. Tahu dari mana anak ini?
"Kata siapa?"
"Om Deli dan tante Risma bilang mau pinjam adik Elsa sebentar," jawabnya.
"Sini, sayang," kupeluk Elsa.
"Ibu gak marah kan kalau Yusuf dipinjam?" tanyanya.
Kali ini tak bisa kutahan, air mataku meleleh juga.
"Ibu sedih ya harus pisah sama Yusuf?"
"Memang Elsa gak sedih?"
"Sedih. Tapi, Bu, rumah om Deli kan besar, pasti Yusuf akan senang tinggal di sana."
Kueratkan pelukanku. Usia gadis kecilku ini bari enam tahun, tapi begitu bijaknya ia.
"Bu, kayaknya Allah tahu kalau Elsa gak bisa jagain Yusuf," katanya.
"Allah juga tahu bapak sama Ibu, terus Kak Elis, Kak Farhan dan Kak Fani juga gak bisa jagain Yusuf. Mungkin yang bisa jagain Yusuf Cuma om Deli sama tante Risma," lanjutnya.
Aku mengangguk.
Entah mengapa, namun ada kekuatan baru yang muncul dalam diriku setelah mendengar kata kata Elsa.
Ya, aku membenarkan kata kata anak enam tahun ini, di mana pun anakku berada, siapa pun yang mengurusnya, pada hakikatnya Allah yang akan menjaganya. Apalagi Deli pernah berjanji, bahwa Yusuf akan tahu bahwa aku dan suamikulah orang tua kandungnya.
Kini aku lebih siap menyerahkan Yusuf pada Deli dan Risma besok.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar